Showing posts with label coret-coret. Show all posts
Showing posts with label coret-coret. Show all posts

Tuesday, 14 April 2009

beres-beres dini hari

Cisitu XXXXXXX pukul 02.20 dini hari

Huahahaha….
Hampir aja lupa user id dan password blog sendiri. Lima bulan lamanya tak kutengok ini blog (eh nengok sih, tapi cuma ngintip bentar doang) Kemane aje non? Kamarana neng Nila? (ikut-ikut tulisan $%^&^) hihi…

Begini teman-teman.. saudara-saudara semuanya…
Sudah dari jauh-jauh hari saya berencana untuk menuliskan apa yang melintas di kepala saya… (ada lalet ijo, ada nyamuk aedes aegypti, bahkan ada helicopter bell armatim) rasanya ingin sekali berbagi rasa, berbagi tanya (ah banyak tanya wae), tapi sekarang dah lupa mau nulis apa.. berhubung dah jam 02.20 malem, jadi pikiran rada-rada ga beres….

* 15 menit kemudian*
Oiya jadi inget, waktu itu sempet kepikiran tentang beberapa hal seperti: pemilu yang berujung ke ruh demokrasi, mennyontek yang ujung2nya mempertanyakan soal penilaian keberhasilan proses belajar (dari angka2 saja kah?), trus pa lagi yah… Yah palagi klo bukan soal TA dan PKM Penelitian saya.

Nah sembari mengingat-ingat apa yang mau di bagi secara detail saya rapikan dulu ya blog saya… dah bosen dari dulu item mulu.

*setengah jam kemudian*

Arrrrgggghhhh…. Lagi praktek bikin label eh ada 3 postingan yang ke hapus, masih ada back up nya sih jadi bisa dipublish lagi… tapiiiiiiiii tapi kan komennya ilang semuaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa………..
Iibuuuuuuuuuuuuuuuuuu………tolongggggg.....

Kembalikan komen-komen buat ku hoy… hoy kau,,,kau yang mengambil komen2... kembalikan kau…..

Ah sudah lah, sudah dikejar tapi ga kekejar. Komen2 itu lari bersama kereta uap, sedang saya mengejarnya pake sepeda ontel. Tahpapa… -_-“

Tidur aja dah....

sentimen kesukuan...

Teman…

Apa ada yang punya alasan kenapa sampai saat ini masih saja ada sentimen kesukuan? (Terutama suku jawa dan sunda…). Ada alasan kenapa sentimen itu harus dipertahankan?

Aku bukan orang beruntung -yang gemar mempelajari sejarah- dan juga bukan orang yang peka terhadap sekitar. Karena itu aku ga pernah sadar akan adanya sentimen kesukuan yang diturunkan para leluhur. Ditambah lagi aku tumbuh di keluarga yang ga rasis, sodara-sodaraku adalah kombinasi cantik dari percampuran berbagai suku di Indonesia; jawa-sunda, sunda-minang, sunda-betawi, sunda-lampung, dll.

Sewaktu tinggal di tanah jawa (Jepara), jika aku berkenalan dengan orang maka dipastikan pertanyaan yang hampir selalu muncul adalah “ asli mana mbak?”… Sebagai anak bangsa yang terlahir di tanah sunda (walo sebenarnya adalah peranakan dari kombinasi suku x dan suku y, ku jawab saja dengan singkat “ sunda”. Tapi lama-lama cape juga ketemu pertanyaan ga penting yang berulang-ulang ditanyakan. Kalo lagi ga berutung si mpunya pertanyaan bakal mendapati aku menjawab dengan judes “ orang Indonesia” wkwkwkkw… Heran kenapa mesti nanya suku sih? Macem ga ada pertanyaan lain aja.

Disuatu waktu, temanku –seorang cewe sunda- bersedih hati karna diputus pacarnya –seorang cowo minang-. Taukah alasannya apa? Alasannya ibunda sang cowo ga setuju anaknya menikah dengan cewe itu lantaran si cewe bersuku sunda. Pengen ketawa deh, tapi bukan menertawakan tragedy putusnya cewe sunda dan cowo minang, melainkan menertawakan manusia yang mau aja melestarikan upaya londo-londo itu (konon sentimen kesukuan dibangun sebagai upaya memecah belah nusantara)… Entah apa yang melekat pada citra cewe sunda, padahal temenku itu wanita baik-baik, ga neko-neko lah

Selain dua hal tadi cerita tentang kesukuan terutama tentang larangan pernikahan antara suku jawa dan sunda jadi sering mampir di telingaku. Ada pandangan cowo sunda pemalas dan ga setia, cewe sunda boros, tukang dandan, cowo jawa dan cewe jawa kalem tapi ngeleyeud ceunah mah.. Wuakakakak itu semua benar-benar membuatku aku tertawa lepas. Makin ga habis pikir deh, apa sih penyebabnya?

Dimulailah pencarian jawaban. Ternyata semuanya bermula dari cerita Perang Bubat antara kerajaan Majapahit dan kerajaan Pajajaran. Cerita lengkap tentang dapat dibaca disini . Ato baca buku nya langsung.

Tulisan tersebut membuatku tertawa (lagi-lagi) sekaligus berpikir keras kenapa suku harus dipermasalahkan. Kenapa sebuah ikatan atas dasar tanah kelahiran sukses membuat manusia saling berburuk sangka dan saling mengejek satu sama lain, juga sukses membuat manusia menjadi sosok yang angkuh (seenaknya menilai orang hanya dari sukunya). Kenapa???? Manusia kan ga pernah bisa milih mau lahir dari suku apa.

Satu lagi: ternyata mempelajari sejarah itu penting. Hehehe… Kata Pramoedya Ananta Toer salah satu kesalahan pada bangsa ini adalah generasi muda yang tidak tahu sejarah (macem gw ini)

Saturday, 8 November 2008

bingung mau ngasih judul apa

[Desa xxxx Leuwi gajah bandung, 8 November 2008]

Kebutuhan untuk mengaktualisasi diri dalam bidang keprofesian, mengantarkan aku dan teman-teman berada di sini. Di depan rumah pak RT yang menghadap beberapa petak sawah dan beberapa tumpukan sampah yang membukit. Wanita berjilbab mempersilakan kami memasuki rumahnya dengan sangat amat santun. Kami, mas Widyo -tokoh masyarakat-, pak RT dan beberapa pemuda setempat mengambil posisi duduk di ruang tamu rumah itu. Sungguh apa yang diutarakan beliau-beliau membuatku merinding sekaligus bersiap menghadapi tantangan intelektual yang aku yakini akan mengaasikkan.

Kedatangan kami adalah untuk mengidentifikasi masalah yang ada di desa ini. Sebagai landasan bagi kami untuk merancang aplikasi teknologi yang diharapkan dapat memecahkan masalah yang ada. Maka agenda hari ini adalah berkeliling desa melakukan observasi pada sanitasi desa, sampah, air bersih, dll. Sesekali kami bertamu ke rumah warga untuk mencari tahu keluhan-keluhan warga. Dari awal aku sudah yakin pasti agenda ini adalah agenda yang berat dilakukan. Keyakinanku diperkuat oleh argumen seorang dosen yang menungkapkan bahwa tahap identifikasi masalah adalah tahap paling sulit dalam merancang system yang akan dibangun.

Perjalanan dimulai. Kami sampai di lokasi sebuah mck umum yang sangat amat sederhana, hanya berupa lahan sempit yang pagari oleh anyaman bambu dengan bambu-bambu rapuh sebagai tiangnya dan sebuah pompa air berkarat. Mck ini digunakan oleh kira-kira 4-6 kepala keluarga. Melihat perwujudannya aku jadi bingung. Air buangannya dialirkan kemana? Daerah ini lebih tinggi dari areal persawahan, jika memang mengalir ke sawah lantas pencemar apa saja yang mengkontaminasi tanaman padi? Jika padinya dikonsumsi lantas apa dampaknya bagi manusia? Lalu bagaiman kualitas air tanahnya? Layakkah digunankan sebagai sumber air minum?

Berkomunikasi dengan warga desa pun ternyata bukan hal yang mudah. Butuh waktu agak lama buatku merangkai kata-kata yang sekiranya dapat dipahami. Ugh.. bertanya saja sulit.. hehe.. ga heran kenapa ada jurusan komunikasi masa.

Belum sampai mengelilingi desa 75% nya secara spontan keluar celetukan iseng dari mulutku: “ ternyata lebih gampang KP (kerja raktek) daripada pengabdian masyarakat, berarti mengabdi kepada industri lebih gampang dari pada mengabdi kepada rakyat…” hehe…

Terserah apa kata orang, itu cuma ungkapan spontan dari seorang aku. Waktu dihadapkan untuk mengidentifikasi masalah di industri (KP) memang terasa sulit dan merasa super duper bodoh, tapi aku merasa lebih super duper bodoh saat ini, saat dihadapkan pada permasalahan masyarakat. Kenapa diri ini rasanya tidak peka dan jeli mengetahui masalah yang ada pada masyarakat. Rasanya lebih punya gambaran yang jelas tentang apa-apa yang ada di industri ketimbang di desa ini. Ahhh kenapa rasanya permasalahan masyarakat lebi sulit daripada industri…

Semakin tersadar akan apa yang pernah teman-teman kampus diskusikan, bahwa bahkan kurikulum pun dibuat untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan kebutuhan masyarakat. (Yeee… nyalahin kurikulum!!) Padahalkan di bangku kuliah juga diajari teknologi tepat guna kok (sksnya memang cuma dikit sih, pilihan pula, hmm mungkin gw nya aja yang ga cerdas)

Ahhh semoga hanya aku seorang yang merasa seperti ini. Jika memang beribu-ribu mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi merasakan hal yang sama denganku, lalu apa artinya? Jangan sampe gitu atulah...

Tuesday, 28 October 2008

Jangan lagi ada korban!!

Beberapa menit lalu telingaku dijejali cerita yang bikin aku geram dan membuat ingin segera menuliskannya disini… Tidak boleh ada korban lagi!!!!

Baiklah, semua yang menyakitkan dan menyenangkan tentang dia sudah kulupakan, sudah ku ikhlaskan rasa penasarannku ini tak terjawab, perasaanku terhadap dia sudah normal seperti perasaanku terhadap tukang jual batagor, tukang parkir, ibu kantin, dosen, pegawai ITB, orang yang lagi nyebrang, orang kebanyakan, bahkan orang yang tak ku kenal. Menuliskan ini bukan berarti membuka luka lama, karna luka itu sudah kering lalu hilang tanpa bekas sedikitpun. Menuliskan ini tidak lain hanya karna aku tak ingin teman-teman cewe lain menjadi korban,,,, (mikir dulu kira-kira apa kata yang tepat), hm mungkin korban ke-b&^ng@*k an nya!

Cerita yang baru saja ku dengar (dan sudah dipastikan kebenarannya) adalah cerita tentang disakitinya seorang cewe (yang ternyata adalah temanku juga) oleh cowo dengan cara yang … argghhhh!!!! Cara yang kejam dan jahat, namun tak terlihat seperti kejahatan. Modus kejahatannya adalah sebagai berikut: taklukkan lalu ditinggalkan tanpa kejelasan!!! Setelah cewe ditaklukan (plizzz untuk cewe-cewe jangan mudah takluk, di inkubasi sajalah hatinya jangan sampai meleleh wwkwkwkk) maka terbukalah jalan untuk menjalin komunikasi yang intensif. Melalui komunikasi tersebut digencarkanlah serangan-serangan yang membuat cewe manapun akan menyimpan harapan yang besar terhadapnya (rasanya ga perlu disebutkan baik pernyataan atau sikap yang membuat cewe berharap banyak).

Setelah itu dimulailah permainan laying-layang: tarik ulur. Permainan sangat sadis, karna ketika si cewe sudah mulai berusaha melupakan, cowo b%en&*@ itu datang kembali dengan gempuran infectious (yang pada ujungnya menginfeksi hati :D wkwkwk). Lalu menghilang lagi. Kondisi tersebut mengalami iterasi sampai titik tertentu dimana cowo itu akhirnya menghilang tanpa kabar…

Begitulah kejahatan yang juga menimpaku dulu. Mungkin lebih parah daripada yang menimpa temanku. Si cowo $%#ng#@k itu menyatakan isi hatinya dan mengungkapkan harapan2 di kehidupan kedepan, hmm… Dan ternyata,,, bukan cuma aku dan temanku yang jadi korban, menurut seorang teman dia juga pernah melancarkan serangannya kepada seorang cewe yang ga boleh diketahui identitasnya. Wew!!!

Ga enak untuk menuliskan ini, semoga bisa jadi pelajaran hidup yang berarti. Pelajaran untuk tidak mudah ditaklukan, tidak mudah percaya sama cowo, namun bukan berarti harus menutup diri. Perlakukan saja semua cowo sama rata.: semuanya teman. Menjalin pertemanan toh sama saja dengan memberi kesempatan orang lain untuk mengenal kita apa adanya, dan kesempatan kita untuk belajar memahami orang lain. Kalau si cowo dah ngebahas masalah-masalah sensitive (soal perasaan) kabur ajah... Wuakakaka, ga ding! Penanganan nya tentu akan berbeda untuk setiap orang, jika memang teman-teman merespon positif dan siap membina rumah tangga & menciptakan generasi terbaik dunia tentunya! ☺ Suru aja dia ngadep enyak babeh…hehehe.. (Mulai sok tau nih gw, macem dah makan asem garem kehidupan aja))

Ok serius lagi ah! Jangan sampai kesalahan fatal dalam hidupku ini terulang atau terjadi pada teman-teman. Pelajaran penting: bahwa memang tak seharusnya kita menggantungkan harapan kepada selain Dia.

Nona Sekrup..

Nona sekrup

[Jepara xx Juli 008] Masa-masa menjalani on-job trainig di suatu perusahaan swasta nasional terkemuka masih ku jalani saat itu. Setelah seharian menemui wujud istilah-istilah yang selama ini hanya ku dapat dari buku, aku mencoba santai sejenak dengan mengaktifkan messenger ku. Maksud hati bersantai eh malah ketemu temen yang ngajak debat!!! Bikin emosi….

Aku lupa pernyataan tepatnya, intinya dia ngatain aku sebagai sekrup kapitalis! Entah karna sedang kelelahan lantas menjadi sensitive, aku menganggap dia merasa hanya dialah yang paling benar. Dari pernyataannya seolah Pak A%$#&* (pendiri perusahaan) tidak ada bagus-bagusnya, beliau hanyalah bagian pendukung dari system penganut kapitalisme yang telah mengakar saat ini, dan aku sebagai OJT di perusahaannya adalah sekrup kapitalis…

Hal tersebut membuatku geram, kenapa dia tidak melihat sisi baiknya Pak A%$&*^. Bukankah jauh lebih baik menciptakan mesin sendiri; menghidupi beribu kepala keluarga daripada hanya sekedar mengomentari harusnya gini-harusnya gitu.. Dengan jengkel nya aku hanya menggempurnya dengan pertanyaan: “ emang lu dah berbuat apa? Bisanya cuma komentar!!” dia malah balik bertanya apa yang sudah kuperbuat. Aku memang belum berbuat apa-apa tapi aku ga menilai Pak A%$#^& buruk. Kalo ga ada beliau jumlah pengangguran di negri ini pasti lebih banyak!!

Nuraniku ga bisa berbohong mengenai apa yang pernah kami sepakati sebelumnya bahwa system yang berlaku saat ini sifatnya tidak mensejahterakan banyak orang. Menjadi bagian dari system tersebut (walau hanya jadi sekrup) punya peran dalam memperpanjang usia system menguasai dunia ini: itu pandangan umum. Tapi siapa yang tau pandangan orang lain. Barangkali Pak A&*^$% punya strategi tersendiri untuk mensejahterakan orang dan tetap bertahan dalam system yang ada. Memangnya menghancurkan sebuah system mutlak harus dilakukan dari luar system? Gimana mau manghancurkan kalo ga kenal apa yang mau dihancurkan. Atau bisa aja kan menghancurkan dari apa yang ingin dihancurkan.

Aku pikir setiap orang punya caranya sendiri untuk mewujudkan apa yang diyakini nya benar, yang pentingkan niat! Dalam hal ini mungkin cara ku dan cara teman tadi berbeda… jadi tolong hargai perbedaan ini, ga usah maksa!

Bagaimana menurut teman-teman? Salahkah menjadi sekrup kapitalis? Atau mungkin pertanyaannya: burukkah kapitalisme itu?

Monday, 1 September 2008

Menuju Jepara.... ^^

Waktu menunjukkan pukul 13:45 tidak ada keterlambatan dari waktu tiba yang diperkirakan. Kuturuni anak2 tangga sambil menatap jauh kedepanku. Kurasakan hangat udara menyentuh wajah dan kedua telapak tanganku… Ah babak baru sepotong kehidupanku di tanah jawa segera dimulai. Potongan kehidupannku yang tidak kunanti, namun tidak ku hindari dan sudah tentu tidak kuketahui corak dan warnanya. Satu yang pasti potongan ini akan melengkapi puzzle kehidupanku yang cuma sekali ini saja.

Seorang bapak dengan logat jawa yang kental bertanya “ Mba Nila?’. “Iya Pak” jawabku. Segera iya membawakan koper ku ke sebuah kendaraan yang diparkir tidak jauh dari tempat kami bertemu. Dengan santunnya beliau mempersilakan aku masuk ke dalam kendaraan. Kasihan sekali, bapak yang ditugaskan menjemputku itu ternyata telah lama menungguku. (Maaf kan aku Pak.. Padahal pesawat ga terlambat kok.. swear deh ^^v)

Huff.. akhirnya dingin AC mobil mengobati penderitaan panas yang cuma sebentar saja kurasakan tadi. Dududududu…Mungkin orang akan menganggapku sedikit sakit jiwa. Bagaimana tidak? jika sepanjang Semarang – Jepara dan di sela-sela perbincangan antara aku dengan bapak pengemudi, senyumku tak usai-usainya mengembang lebar. Rasanya terlalu cepat untuk jatuh cinta, aku hanya terpesona oleh kesederhanaan apa-apa yang ku lihat sepanjang kiri-kanan jalan. Bukan oleh bangunan-bangunan besar yang disebut orang sebagai buah peradaban dunia.- yang tentu tidak kujumpai disini. Perjalanan ini sama serunya dengan petualangan dalam imajinasiku, bahwa memang bahagia tidak bisa di beli oleh angka-angka bernama uang. Peralanan Semarang – Jepara yang memakan waktu sekitar 3 jam menjadi terasa hanya beberapa menit saja olehku. (Sepanjang perjalanan ini aku juga sibuk ber yman ria dengan topik perbincangan: perjalanan nila menuju jepara -_-‘)

Mulai memasuki Jepara… Sejauh mata memandang, jalanan kota ini bersih; bersih dari sampah -dalam arti sebenarnya- dan bersih juga dari sampah masyarakat. Melewati wilayah taunan kulihat kios - kios ukir berderet di sisi jalan. Walau hanya melihat sekilas, ukiran-ukiran dari kayu yang nampak tangguh itu mampu membuatku bergumam “ cantik…”

Dan…. Jreng jrenggg…. Di depanku – titik pusat sebuah perempatan besar- tampak patung wanita bersanggul berkebaya dan berkarisma (ah seksi sekali lah pokoknya) bersama anak kecil wanita berseragam sekolahan. Patung siapa lagi kalo bukan patung ibu kita kartini…. (ibu kita?) Patung itu memang menjadi icon yang paling ku ingat sepanjang perjalananku ini

Disebrangnya terdapat bangunan sekolahan. SMU Negri 1 jepara yang berhasil menarik perhatianku (entah kenapa). Sedikit seperti ingin menyelidik, pandanganku tak cepat-cepat kulepaskan dari SMU itu. Tak kusadari ada harapan timbuldalam diri ini: harapan besar pada sekolah itu untuk dapat mencetak putra-putri terbaik bangsa ini… ouchhh…

Tidak begitu jauh perempatan jalan tadi sampailah aku di depan gang selat. Rumah ber-cat warna-warni.diujung kiri gang adalah tujuanku, tempat dimana aku berteduh untuk 2 bulan mendatang. Keluar dari mobil udara panas masih saja mengganggu diri ini yang tak terbiasa dengan temperatur tinggi. Berjalan dari ujung gang ke rumah tujuan saja membuat keningku basah oleh keringat… Arghhh panaaasss….

Sejenak kulupakan panas penggangu tadi..Harus kulupakan…

Setelah berpamitan dengan bapak pengemudi, aku bergegas masuk ke dalam rumah. Belum sempat berkenalan seorang wanita muda membantuku membawakan koper ku… Uh kesan pertama yang begitu menggigit. Wanita muda itu mba Riri yang terlihat sangat ngayom sekali. Mulai lah ku keluarkan jurus sok kenal sok deket ku…Dan berkenalan lah aku dengan penghuni rumah lainnya: Ayu sang OJT 001 (aku OJT 002) yang membuat ku bahagia karna ada teman ber OJT ria..(Ora Jelas Tugase), dan ada mba Dewi yang manis dan menyambut hangat kedatangan ku karena membuatnya ada teman dari jurusan yang sama - teknik lingkungan- ( entah kebetulan atau hanya aku yang mendramatisir dan melebih-lebihkan, setelah kenal lama dengan mba Dewi ada beberapa karakter bawaan jurusan yang membuat kami cocok… dasar Anak TL di ITB ma di UNDIP sama aja @#$$%%^^… hehe men-generalisir) Saat itu satu orang penghuni absen, beliau adalah mba Tresna yang pada akhirnya menjadi mbaku yang paling akrab dengan ku. Bagaimana tidak menjadi akrab jika hampir setiap malam kami lewati bersama, bernyanyi bersama (dan konon katanya nyanyian kita berdua terdengar dari gang pantai, pantas saja gang pantai jarang dilalui orang kalau malam hari wuakakak), tanpa sengaja kami berdua telah membuat standar baru untuk istilah begadang (jam 10 saja sudah berhasil di sebut begadang) hahaha…

(Diwaktu itu aku adalah pendatang terakhir di rumah itu, selanjutnya ada pendatang baru yang istimewa: siapa lagi klo bukan bu Atin tanteku yang begitu berkesan)

Ku tempati kamar atas yang sudah sediakan untukku.. Mulai kurapikan barang-barang bawaanku, yang sebenernya ga ingin kubawa semuanya… Segera mandi untuk mendapatkan rasa sejuk paling tidak, tapi ternyata argh… airnya ga berasa… Opss sudah terlalu banyak diri ini mengeluh soal panas nya Jepara… dan masih ada keluhan lainnya ternyata

Dingdong… Hawa kamar ini membuatku tidak tenang, --ceudeum ceuk orang sunda mah-- sepertinya ada yang selalu memperhatikannku (deuh GR!!!) Eh seriusan ini mah,ngeriiiii kk… Hmm... Melihat ada kamar kosong di bawah aku meminta ijin untuk menempatinya, dan asiiikkkk di ijinkan ternyata. Walau kamar itu kecil sekali dan tanpa lemari, kamar bercat kuning itu seolah menyambutku bersahabat. Mungkin kalau kamarnya bisa bicara dia akan menyapaku “ hai nila… salam kenal” hahahaha.. lebih ngeri lagi atuh ya…

Huuu sudah tenang lah aku di tempat baruku, lalu mencoba barbaur dengan penghuni lainnya. Dan 7 minggu lebih 5 hari kedepan adalah hari-hari yang meninggalkan kesan begitu mendalam bagi ku….uhukuhuk…

Sunday, 25 May 2008

Salah siapa?

Pak Lurah, Penerima yang bukan haknya, Petugas loket pelayanan beasiswa, Pemerintah, Pemberi hutang, Penerima hutang, Pembuat hutang, Penulis scenario, Pelaku scenario…. Siapa yang salah??

Keinginan untuk mandiri atau hanya sekedar meringankan beban orang tua dalam pembiayaan diri lumrah ada pada setiap orang, pikirku. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan beasiswa pendidikan. Di sebuah lantai dasar gedung campus center sayap barat ITB, disamping barisan anak tangga yang menghubungkan lantai dasar dengan lantai diatasnya, disana lah tempat mahasiswa mendapatkan layanan beasiswa. Di depan loket pelayanan beasiswa dipajang beberapa banner berisi informasi beasiswa yang menurutku sudah cukup rinci. Dari mulai jenis beasiswa, jumlah bantuan beasiswa, persayaratan, dan pihak/ perusahaan pemberi beasiswa. Jenis beasiswa yang ditawarkan cukup beragam; beasiswa ekonomi, beasiswa prestasi, dan beasiswa ikatan dinas. Alhamdulillah aku cukup tau diri, beasiswa ekonomi tak lagi kulirik karena aku merasa itu bukan hak untuk ku --masih punya orang tua yang mampu membiayai ku. Kupahami dengan seksama criteria dan syarat yang harus dipenuhi untuk beasiswa prestasi atau pun beasiswa ikatan dinas. Karna diri ini banyak maunya, aku pun kembali untuk tidak melirik beasiswa ikatan dinas, banyak rencana lain setelah aku lulus kuliah, bisikku dalam hati. Kemudian…Senangggg… Harapan untuk mendapat beasiswa prestasi sedikit demi sedikit muncul, ternyata dengan segala keterbatasan prestasi akademik, aku masih memenuhi syarat untuk bisa mendapatkannya. Untuk tahu lebih banyak aku memasuki ruangan itu, kemudian bertanya pada bapak-bapak tua yang kebetulan sedang menjaga loket.
“ Permisi pak, bagaimana prosedur untuk mendapatkan beasiswa prestasi?”, tanyaku.
“ IPK eneng berapa?, bapak itu malah balik bertanya. Ku jawab:”*&, %^ pak”.
“Wah neng, IPK segitu mah banyak di ITB ini, biasanya yang dapet beasiswa prestasi tuh mahasiswa yang IPK nya di atas 3.9. Ada sekitar 110 orang yang punya IPK segitu”….
Wew… rasanya harapan yang tadi timbul kini jatuh bebas dengan kecepatan tinggi
“ Oh gitu ya pak… yawda deh pak, makasi Pak”, balasku dengan nada lemas dan ekpresi kehilangan harapan (ekspresi spontan yang tidak bisa ku sembunyikan atau kukendalikan). Melihat aku yang nampak lemas, bapak tadi membalas
“ Tapi neng, kalo mau beasiswa, ajuin beasiswa ekonomi aja”. Tanpa berfikir lama, aku langsung menolak sarannya “ Ga usah pak, makasih”…..

Sambil berjalan pulang aku jadi teringat beberapa temanku yang mendapat beasiswa (yang pasti bukan beasiswa ikatan dinas) Mereka bukan pemilik IPK lebih dari 3,9 tapi mereka juga bukan berasal keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi. Aku berkata seperti itu karna secara kasat mata pun aku sudah tau harga pernak pernik yang digunakan, dari keseharian mereka yang tampil trendi dan glamour, dengan balutan kain ber merk mahal kaliber dunia, dan dari gaya hidup mereka. Lantas aku jadi bingung “ moso bisa beli baju beratus2 ribu tapi minta beasiswa ekonomi”. Benar saja dari informasi seorang teman yang memang berhak mendapat beasiswa ekonomi, sebagian dari mereka memang mendapat beasiswa ekonomi. Bukan bermaksud sirik, tapi gerah melihat 1 lagi ketidakadilan dari sekian banyak ketidakadilan yang ada. Karna menurutku masih banyak yang lebih pantas dan berhak mendapatkannya.

Perbincanganku dengan teman yang memang butuh beasiswa ekonomi tadi mulai mengalir. Aku heran dan menanyakan mengapa bisa mereka yang tidak berhak itu mendapat beasiswa sedang salah satu syarat mendapat beasiswa ekonomi adalah surat keterangan tidak mampu dari kelurahan (ato kecamatan ato rt rw ato mungkin bikin sendiri ???). Dengan sedikit kesal ia berucap: “ Lah jaman sekarang tuh gampang banget nil untuk minta surat keterangan ga mampu”… Lebih lanjut ia pun mengungkapkan kekesalannya akan hal itu. “ dia kan mampu mbok ya kasih kesempatan ke orang-orang yang emang butuh kaya aku….”

Haduh jadi makin gerah, apa pihak kelurahan yang harus disalahkan karna asal-asalan memberikan surat yang tak sepantasnya di berikan?,menyalahkan petugas pelayanan beasiswa karna tak ketat dalam menseleksi penerima beasiswa? atau menyalahkan mereka yang mengambil bukan hak nya? Segera aku berkesimpulan kalau beasiswa ekonomi tidak selalu tepat sasaran. Banyak orang bilang lebih baik cari jalan keluar daripada mencari pihak yang salah. Tapi aku tetap mau mencari siapa yang salah dalam hal ini, biar saja dibilang kurang baik. Toh hidup bukan dijalani dari pandangan orang-orang.

Kembali ke pertanyaan lalu siapa yang salah? Aku jadi teringat berita yang sering tersiar akhir-akhir ini: penolakan kenaikan harga BBM dan penolakan BLT karna dinilai tidak tepat sasaran. Pernah aku bergumam menimpali aksi para aktivis (yang katanya ditunggangi) menolak BLT, : “ kalo BBM ga naik ya ga ada BLT”. Begitu juga dengan beasiswa ekonomi yang ku nilai tidak tepat sasaran. Dengan logika yang sama: “kalo pendidikan gratis ya ga ada beasiswa pendidikan”… Ya, ternyata permasalahan ini hanyalah permasalahan turunan dari salah satu masalah besar negeri ini: pendidikan.

Jadi siapa yang salah? Apa pemerintah yang harus disalahkan? Karena harusnya pemerintah bertanggung jawab atas pendidikan warganya. Lalu bagaimana dengan pembelaan dari pemerintah dengan pernyataan: “pendidikan bukan semata-mata beban pemerintah tapi semua komponen masyarakat” ?. Dari pernyataan itu aku jadi bingung, bukankah rakyat memilih mereka dan mempercayai mereka untuk mengatur sector-sektor publik? (termasuk pendidikan). Terkesan egois, tapi memang benar kalau itu adalah tugas pemerintah. Kalau manusia tidak saling berkaitan satu sama lain, manusia bisa hidup sendiri-sendiri, maka pemerrintah tidak dibutuhkan!. Tapi nyatanya ada hal-hal yang mengikat orang banyak (menguasia hajat hidup orang banyak, klo kata UUD pasal 33 mah) yang butuh di kelola oleh pemerintah. Jadi aku tetap berkeyakinan kalau pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah.

Apa yang diupayakan pemerintah saat ini dengan melibatkan peran masyarakat dan swasta untuk turut menanggung beban pendidikan hanya menambah masalah baru saja. Lihat saja PTN di Indonesia saat ini, dimana perguruan tinggi pontang-panting mencari jalan untuk membangun kemandirian secara finansial. Berbagai cara ditempuh, walaupun menuai kontroversi seperti dengan membuka jalur khusus yang menuntut banyak uang dari peserta. Pihak PT yakin cara itu tidak menjadi masalah selama kualitas peserta sesuai dengan standar yang ditentukan. Jalur khusus pun dikuatkan dengan alasan sebagai pendukung untuk melakukan subsidi silang. Namun yang perlu diperhatikan dari cara tersebut adalah proporsi antara peserta jalur khusus dengan reguler. Mengurangi porsi penenerimaan mahasiswa baru dari jalur reguler (spmb) sama saja dengan memperkecil akses warga negara terhadap pendidikan. Hal tersebut membentuk pandangan di masyarakat bahwa PT itu mahal, dan berimbas pada penyusutan motivasi anak2 bangsa yang pintar namun kurang beruntung untuk meneruskan pendidikan ke PT.

Hmmm… kacau sekali jika kubayangkan jatah spmb hanya 10% atau bahkan 0 %, artinya pendidikan mutlak mensyaratkan dana besar selain juga kapasitas intelektual yang tinggi. Semoga ini tidak pernah terjadi… (amin) Apa cukup sampai disitu? Masih banyak lagi masalah yang timbul, seperti masuknya kepentingan asing dalam pendidikan. Melalui pendanaan yang dikucurkan para investor seolah meminta kompensasi dengan turut campur dalam kurikulum. Bagaimana kurikulum pendidikan disusun dengan menyesuaikan kebutuhan pasar, sedang di dalam negeri sendiri masih banyak masalah yang belum juga terpecahkan. Hmm pantas saja kurikulum pendidikan selalu berubah-ubah dengan cepat.

Jika masyarakat dan swasta tidak dilibatkan dalam menanggung beban pendidikan, apa pemerintah bisa menanggungnya sendiri? Tentu seharusnya bisa. Lalu bagaimana caranya pemerintah menggratiskan pendidikan? Pendidikan butuh biaya mahal, bohong kalalu pendidikan tidak butuh biaya. Fasilitas, tenaga pengajar, infrastruktur, dll membutuhkan biaya yang tak sedikit bukan?

Begitu sering aku mendengar cerita --yang juga kenyataan-- bahwa negeri kita sangat kaya. Sederhananya: apa kekayaan tadi tidak mampu mengratiskan pendidikan? Atau paling tidak mampu membiayai sebagian besar kebutuhan pendidikan agar pendidikan menjadi murah untuk tingkat ekonomi rendah sekalipun. Menurutku mampu, sangat mampu malahan. Dan pemerintahlah yang berwenang mengelola kekayaan tadi. Mau dikemanakan harta kekayaan negeri ini? Apa kekayaan itu telah habis dibabat oleh asing? Atau hanya untuk mempertebal kantong pribadi atau kelompok tertentu? Jika benar begitu tentu negeri ini tidak akan pernah mampu membiayai kepentingan warganya. sekalipun untuk kepentingan pendidikan yang sifatnya sangat fundamental dalam menentukan maju mundurnya sebuah negeri… Akhirnya kekayaan yang sampai di kas negara terlalu sedikit karna telah banyak dipotong sana-sini. Sejumlah kekayaan itu pun tidak sepenuhnya untuk membiayai keperluan negara? Kenapa? Negeri ini masih punya banyak hutang bung! Sekitar 34% APBN negara dialokasikan untuk membayar hutang luar negri Indonesia. Sedangkan pendidikan hanya mendapat alokasi dana APBN yang belum juga mencapai angka 20%...

Lalu siapa yang salah? Yang memberi hutang? Yang meminjam hutang? Atau mereka yang membawa negeri ini terpuruk sampai ke palung paling dalam, hingga harus terbelit hutang?? [pusingggg…] Atau….. Apa kesemuanya tadi adalah sederet kejadian berantai yang telah direncanakan dengan matang dalam sebuah scenario drama besar dunia? Lalu siapa yang salah? Pembuat scenario? Para pelaku scenario? Atau penonton drama besar itu pun ikut bersalah? [jadi makin pusingggg!!!] Ternyata pandangan kebanyakan orang benar: lebih baik mencari jalan keluar daripada mencari pihak yang salah.. hehehe….. Lalu apa jalan keluarnya???

Thursday, 22 May 2008

hihihih

halow halow....
Rasanya resah ketika begitu banyak yang mondar mandir di kepala tapi tak juga sempat dituangkan dalam tulisan.....
Apa daya tuntutan akademis mengalahkan keinginan untuk menuangkan keresahan lalu larut dalam tulisan. Ngerjain tugas aja dah bikin larut selarut2nya sampai jari-jari ini kaku... huaaaa.... pelu design pulpen yuang lebih ergonomis nih...
Ah kenapa yang keluar lagi-lagi adalah keluhan.. hihihihi...
Beginilah kondisi selepas UAS... hihihi...
Yup.. banyak hal baru, banyak perubahan, banyak pergantian, kemusnahan, kebangkitan, keterpurukan, dan sejuta ke ke ke ke lainnya......
Ahahahaha
sudahlah ga penting... ;(

Wednesday, 27 February 2008

sepotong waktu

Hai…
Sapaan untuk siapapun itu yang masih sempat dan berkeinginan membaca tulisan di blog kelam ini. Kembali ke tujuan awal blog ini tercipta—berbagi serba-serbi kehidupan-- ,aku ingin mengurai kata menuturkan cerita dari sepotong waktu yang dimulai sekitar 1 tahun lalu, dan semoga saja bisa dipetik pelajaran dari nya. Ya, cerita dari sepotong waktu tersebut sungguh menarik, memesona, dan ada juga memilukan

Rasanya tidak jarang diantara kita yang berkomentar soal para eksekutor, terserah dalam scope apa. Tapi sepengetahuanku dari mulai ketua kelas, pejabat himpunan, kepanitiaan, para pejabat kampus bahkan pejabat pemerintahan daerah dan pusat pun tidak pernah terlepas dari celotehan komentar kita. Mayoritas komentar yang terlontar apalagi kalau bukan komentar miring? Soal kinerja yang buruk? Harusnya gini! Harusnya gitu! Ga becus ngurus ini! Ga becus ngurus itu!? Hal ini terpaksa aku maklumi karna sampai sekarang pepatah kuno “gajah dipelupuk mata tidak nampak tapi semut di seberang lautan nampak” (bener ga tuh pepatahnya? Bisi salah.. Mohon dikoreksi) masih juga berlaku. Orang akan selalu lebih mudah untuk melihat kekurangan orang lain, dan lebih mudah untuk mengkritik tanpa memosisikan diri di pihak orang itu. Mengapa? Mengutip pendapat seorang teman: “.. kita sama-sama mengamati jagat raya, bedanya antara lo ma gw; lo astronot gw astronom..” Lebih lanjut lagi teman itu menjelaskan bahwa astronot secara langsung mengalami kondisi-kondisi nyata diluar angkasa tersebut (tanpa gravitasi, hampa udara, dll), sedang astronom hanya mengamati dari bumi tanpa merasakan kondisi luar angkasa. Ya, para eksekutor itu adalah astronot dan para pengamatnya astronom. Dan banyak sekali para pengamat di dunia ini dengan komentar dan kritik pedasnya. Bukankah banyak para aktivis yang vokal namun ketika ia menjabat manjadi eksekutor kevokalan nya lenyap bersama waktu? Mungkin analogi astronot-astronom ini berlaku juga pada fenomena itu.

Apa yang terjadi dalam satu tahun lalu? Dalam masa itu aku menjadi sangat paham akan pernyataan temanku tadi, karena saat itu peranku adalah sebagai astronot. Posisi itu buat aku tersadar bahwa kondisi di lapangan sangat amat mungkin berubah 180 derajat dari scenario yang dirancang. Bahwa memang tidak pernah terjadi kondisi ideal! Semua perhitungan dan perancangaan matang yang disiapkan dibumi nantinya pasti akan meleset juga ketika di luar angkasa sana. Karna memang ada hal-hal diluar kuasa kita. Pernah menjadi astronot membuatku lebih berhati-hati untuk mengkritisi para astronot lainnya… Namun tetap, yang tidak boleh dilupakan adalah usaha. Usaha untuk membuat perhitungan dan rancangan terbaik. Karna seperti apa yang bhumi katakan “yang manusia bisa perbuat adalah berusaha”

Apa yang memilukan dari cerita sepotong waktu ini? Hmm.. Kupikir yang paling memilukan adalah ketika apa yang ingin diubah tak kunjung berubah. Tentu saja bukan hal mudah jika yang ingin diubah adalah manusia. Semua usaha dan kerja keras tak sebanding dengan hasil yang ingin dicapai. Tapi akhirnya ketika ku coba merunut ulang semua yang telah kulakukan pilu itu hilang. Kecewa, marah, pilu tiba-tiba terbabat habis saat ku luruskan niat. Jika yang ku perbuat hanya karena alasan kemanusiaan, solidaritas atau apalah tentu kecewa yang dirasakan saat hasil tak seperti yang diinginkan.

Berkenalan dengan buku-buku bergizi menjadi momen yang paling kusuka dalam sepotong waktu itu. Terimakasih banyak teruntuk laskar pelangi yang berhasil membuatku membuka mata, hati dan pikiran. Lebih tepat jika kukatakan Laskar pelangi sebagai katalis pemecahan teka-teki dunia dalam petualanganku. Ceritanya yang sangat kental dengan sisi kemanusiaan berhasil membawaku mendapati sekian banyak pertanyaan. Dimulai dari pertanyaan mengenai kasus lintang; mengapa bisa tikus mati di lumbung padi?? Apa yang tadinya nampak terpisah kini terlihat sebagai suatu kesatuan. Yup.. everything is connected!!! Ya, novel ini mampu menggiringku bertualang. Dan aku sangat menikmati petualangan yang entah dimana ujungnya ini.. Terimakasih untuk buku-buku lainnya yang berjodoh dipertemukan dengan sang penulis dalam setaun terakhir. Hmm… Ternyata slogan “buku itu jendela dunia” sama sekali tidak salah.. Percayalah bahwa buku mampu membuat jiwa kaya.. (jadi hadiri pekan baca tulis ITB yak! Perpustakaan kaget PBT --25 februari-01 maret 2008 @ CC Barat ITB-- menyediakan buku-buku bergizi loh! Hehe..)

Selain berkenalan dengan buku, dalam sepotong waktu yang singkat itu aku pun dipertemukan dengan banyak teman-teman yang hebat. Kenapa hebat? Apa itu hebat? Biarlah aku pakai definisi hebat versi diriku sendiri --hebat; inspiring, & energizing. Bukan hanya mereka yang berkarya nyata untuk kebaikan saat ini tapi juga mereka yang sabar dan konsisten membangun sebuah bangunan besar nan mensejahterakan manusia di masa depan kelak.

Teori saja rasanya mudah diterima tapi untuk eksekusi rasanya sulit setengah mati. Hal ini juga pernah diungkapkan temanku bahwa orang Indonesia itu jago berteori tapi tidak dengan eksekusinya. Teorinya orang dewasa harus berani menanggung konsekuensi dari apa yang sudah jadi keputusannya. Hmm.. dalam sepotong waktu itu tak dinyana aku memutuskan menyukai seseorang (bukannya perasaan itu sulit dikendalikan? suka, kagum, senang, marah, kaget, dll), dan di masa itu juga aku harus menanggung konsekuensinya… Kini aku sepakat dengan pendapat teman tadi.. Arrrghhh… Tapi toh masa-masa itu telah berhasil kulalui.

Friday, 23 November 2007

luarrr biasaaa....

Mau sedikit cerita soal hari ini yang arrgghhhhh... luarrrr biasa bikin kesel....
Bagaimana tidak?
Mau berbagi ilmu saja sulit, harus berhadapan dengan kenyataan; bertemu pihak-pihak yang ingkar janji.
Bagaimana tidak? (lagi)
Ga semua orang punya kepedulian untuk hal sepele --yang berujung pada hal besar sebenarnya mah--.
Bagaimana tidak? (lagi lagi)
Hanya ada segelintir oknum yang jalanin kewajibannya... Oknum nya pun yang itu-itu saja.
Bagaimana tidak? (lagi lagi dan lagi)
Hari ini ga sempet makan, ga sempet ngelarin laporan lablink yang dah minus 3

Semakin aku keselllll
Semakin terkuak kekurangan diri ini...
Seharusnya aku begini! Seharusnya aku begitu!
Bagaimana dengan dia?
Bukan kah seharusnya dia begini? Bukan kah juga seharusnya dia begitu?
Argghhhhh..................................................

Saturday, 17 November 2007

Adakah takdir itu buruk?

Di suatu siang yang mendung kelabu, dan cedeum --ceuk orang sunda mah--, seorang temanku bertanya:

“ Kenapa kemiskinan harus dihapuskan? Kalau semua orang kaya, ntar sapa yang bikin rumah, bersihin sampah, bantuin angkat barang-barang berat, dll? Kenapa korupsi harus diberantas? Klo ga ada dimana kerjaan polisi,hakim, pengacara? Kenapa kebodohan mesti diberangus?Klo semua orang pinter, buat apa ada guru, sekolah? Siapa yang ngerjain tugas orang-orang bodoh?...”

Bagaimana menurutmu? Apakah pertanyaan diatas tadi pertanyaan bodoh? Pertanyaan cerdas? Pertanyaan biasa-biasa saja? Atau ragu-ragu.. Heheh..
Yang pasti pertanyaan tadi bukan pertanyaan bodoh, karna pertanyaan bodoh hanya pertanyaan yang tidak ditanyakan…Tul ga?

Lantas aku hanya menjawab dengan singkat:” ga masuk akal!! Sempit…”.
Ternyata si teman tadi ga terima jawabanku. “Kenapa sempit? Situ yang sempit, wa coba liat permasalahan dari sisi positif dan negatifnya”, begitu tukasnya.
Lalu kembali kujawab dengan singkat: “ Klo mau kya gitu mah, Tuhan beri peraturan emang buat dilanggar, beres!!”.
Si teman menyahut:” :p cerdas.. Ga masuk akal tapi wa sempet nemuin kek gitu di dunia nyata.. Keknya masalah terjadi bukan karna sesuatu itu positif/negatif, tapi karna standar benar/salah yang menentukan itu masalah/ga…”

Sial ternyata si teman tadi cuma menguji. Baiklah sampai disini perdebatan selesai, tapi tidak dengan pertanyaan. Mana pertanyaan nya? Nanti setelah kubeberkan pandanganku soal pertanyaan dari dialog di atas.

Kembali pada hakikat penciptaan. Menurutku segala sesuatu yag diciptakan pasti punya aturan, dosenku yang menciptakan incinerator PPS Sabuga tak lupa menciptakan SOP pemakaian nya, steve jobs dan steve wozniak mendirikan Apple dan menciptakan PC pertama di dunia yang sudah mengguakan GUI (Graphical user Interface) juga disertai dengan aturan penggunaannya, ibu kost ku juga menyertai aturan pada rumah kost-kostan yang diciptakannya, tujuannya jelas agar system ciptaannya berjalan dengan baik. Lalu bagaimana dengan bumi dan seluruh jagat raya yang diciptakan oleh Sang Pencipta? Apakah juga punya aturan?

Jika memang sang pencipta bumi dan jagat raya memberikan aturan, maka jelas, aturan itu tak lain adalah untuk menjaga keberlangsungan system di bumi ini. Keberlangsungan yang seperti apa? Kalau dosenku tadi menciptakan aturan pada incineratornya agar incinerator tidak rusak, maka begitu juga dengan pencipta bumi ini. Sang pencipta menciptakan aturan agar tidak terjadi kerusakan di bumi, baik itu kerusakan lingkungan ataupun kerusakan social masyarakat, maka keberlangsungan yang dimaksud adalah keberlangsungan yang baik untuk semua komponen di bumi ini, seimbang antara alam dan manusia.

Dan ketika aturan itu tidak dijalankan, maka akan timbul kerusakan. Kerusakan seperti apa? Beberapa kerusakan itu adalah seperti yang dipertanyaan si teman tadi, soal kemiskinan, korupsi, kebodohan, kriminalitas, pornografi, pembajakan hak cipta, dll. Hal sebaliknya terjadi jika aturan itu dijalankan, tidak ada kemiskinan, tidak ada kebodohan, tidak ada kriminalitas, dan tidak ada kerusakan-kerusakan lainnya. Karena aturan diciptakan tentu bukan untuk dilanggar. Namun yang saat ini nyata terjadi adalah kerusakan-kerusakan itu.

Jika merunut tulisan diatas maka logis jika dikatakan kerusakan yang nyata terjadi saat ini adalah akibat tidak di berlakukannya aturan itu. Tapi bagaimana dengan pernyataan yang santer terdengar di telinga kita: “ yah.. itu sih emang takdirnya dia hidup miskin/jadi koruptor/atau meninggal dipukuli massa lantaran nyuri ayam?”

Bagaimana inih? Bagaimana kaitannya dengan takdir? Pada kondisi yang seperti apa kemiskinan atau kebodohan atau kerusakan lainnya disebut takdir? Bukan dampak dari aturan yang tidak diberlakukan. Mungkin pertanyaan yang lebih tepatnya: apa bedanya kerusakan akibat aturan yang tidak dijalankan dengan kerusakan karena memang takdir? Adakah Tuhan mentakdirkan hambanya menjadi seorang yang bodoh, atau apakah koruptor di dunia ini memang ditakdirkan terlahir sebagai koruptor? Apakah kriminalis yang berkeliaran di bumi ini juga terlahir dengan takdirnya sebagai seorang kriminalis? Atau mungkin kerusakan sistemik adalah imbas dari tidak dijalankannya aturan sedangkan kerusakan individu adalah karena takdir? Adakah takdir itu buruk?
Ada yang mau memberi komentar? Jawaban? Atau malah nambahin pertanyaan? Monggo…

Wednesday, 14 November 2007

Hufff...

Deg degan....
Nng... bingung mau nulis apa?

Monday, 29 October 2007

Sakit!!!!!

Pernah merasa sakit? Aku pernah., sering malahan Di balik rasa sakit itu ada rasa senang, syukur karna masih bisa merasa sakit. Tapi sakit yang mana dulu inih? Jasmani ato kejiwaan? Sakit secara jasmani itu sering, tapi lebih sering lagi sakit pada kejiwaan.

Sakit jenis yang kedua tadi memang sulit di identifikasi, bahkan oleh si penderita. Karna selain tidak terindra, sakit yang satu ini juga tersamar oleh keadaan, lantaran sakitnya terjadi secara berjamaah. Maksudnya tersamar, ya.. gimana yah… keadaan telah membuat si penderita tidak meyadari ada penyakit pada jiwanya, semua baik-baik saja pikirnya. Jenis sakit ini bervariasi tingkatanya, dari tingkatan rendah sampai tingkat yang lebih tinggi, macem stadium gituh…

Entah sampai titik apa namanya, ketika suatu kekuatan besar merasuki si penderita atau ketika zaman sudah kembali berbalik, barulah si penderita tersadar akan sakit yang selama ini di derita jiwanya. Aneh memang, sakit nya tidak terasa sakit namun justru menyenangkan, dan membahagiakan… Lalu mengapa namanya sakit kalau tidak terasa sakit. Ya seperti yang sudah disebutkan diatas, ternyata sakitnya dilakukan secara komunal. Kalau mayoritas orang yang ada adalah penderita, maka sakit itu menjadi tidak tampak, tidak juga terasa, sebaliknya sekelompok minoritas yang tidak sakit justru dianggap sakit. Hal yang dilakukan secara komunal telah mengubah persepsi soal sakit yang aku maksud disini, standar sakitpun jadi berubah atau bahkan berbalik. Ah…segala nya kini jadi menjadi terbalik.

Sebenernya jadi bingung kenapa tiba-tiba jadi menulis ini, padahal sebenernya pengen curhat lagi sakit hati.. hahaha. Klo gitu sih masuk barisan sakit hati ajah, dimana barisannya ya?

Sunday, 28 October 2007

Mengapa?

Argghh…
Rasanya diri ini tak tenang ketika ku temukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengusik pikirku (karna jawaban tadi memunculkan pertanyaan baru, (beuh.. terus aja berulang seperti itu)
Sesalpun bertengger di hati ini, lantaran dulu pernah terlintas tanya dan aku tak mau tau. Seperti tak punya hati.. Atas sentimentil kemanusiaan dan atas dasar entah apa lagi, pertanyaan2 itu melintas dalam ruang fikir ini, namun aku tak punya cukup nyali tuk bertualang menjelajah lintasan pertanyaan tadi…

Rasanya terlalu buang waktu untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Bukankah akan lebih baik jika aku pikirkan bagaimana caranya agar cepat lulus? lalu segera bekerja (bukan menciptakan lapangan kerja) untuk mengembalikan investasi ekonomi yang orang tuaku tanam selama aku kuliah (biaya kuliah kan mahal, sumprit deh!!). Bekerja sebagai abdi Negara (PNS) pastinya tidak bias menggantikan investasi ekonomi tadi secara cepat karna gajinya kecil, jalan pintasnya adalah korupsi. Cara “aman” dan singkat mengembalikan investasi itu adalah dengan bekerja di korporasi swasta entah local atau asing yang pastinya memberi honor besar. Tak peduli lagi apakah korporasi tersebut memakmurkan atau malah merampok orang banyak. Ah.. benar-benar berorientasi pada uang…(--salah satu imbas dari pendidikan yang hanya sebagai mata rantai ekonomi kapitalistik--)

Keinginan mencari jawaban semakin pudar lantaran pihak pengendali system (dalam hal ini; rektorat insititusi tempat aku menimba ilmu) menuntut mahasiswa untuk segera lulus dengan cara membuat kebijakan melipatgandakan SPP kuliah jika masa studi kami lebih dari 8 semester, di tambah kagi kurikulum ITB yang memang berat (ga sempet mikirin realita sosial yeuh.. laporan & tugas banyak pisan)

Hal tersebut itu di bentuk oleh system( --baru system kecil skala ITB, dimana ITB adalah bagian kecil dari suatu system besar yang mencengkram dunia ini--) , yang mengarahkan kita mengikutinya guna mendukung rencana-rencana system, menuntut kita nyaman dengan keadaan yang dibuat seolah-olah benar, menjauhkan kita menemukan sesuatu yang salah dengan menutup mata, hati dan telinga kita dengan segala daya melalui kebijakan-kebijakannya salah satunya.

Tetapi keadaan hasil bentukan system tersebut malah semakin memicu pertanyaan- pertanyaan kecilku mengalir., dan menguatkan keinginan mencari jawabnya. Mengapa begini? Mengapa begitu? Kutanyakan juga pada diriku atas persepsi-persepsi yang dulu pernah mampir di kepala ini. Biasanya pertanyaan itu muncul dari hal yang dirasa tidak sepantasnya terjadi / dianggap sebuah masalah, misalnya pendidikan adalah hak semua warga namun mengapa pendidikan hanya terjangkau oleh kaum bermodal saja? Air adalah kebutuhan pokok & merupakan SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak dimana penjaminan akses terhadap air bersih tertuang dalam aspek hukum, namun penduduk tanpa akses air bersih di Indonesia mencapai 44.8%, mengapa? Masih banyak lagi mengapa- mengapa lain nya. Seleseai satu pertanyaan kujawab maka jawaban tadi menjadi pertanyaan berikutnya, terus saja berulang seperti itu. Ternyata semuamua itu adalah saling terkait. Kondisi ini makin meyakinkan aku bahwa masih banyak teka-teki di dunia ini yang perlu aku pecahkan, perlu ku cari tahu jawabnya.

Pesan yang ingin kusampaikan disini: Ayo kalahkan kungkungan system tersebut, jelajahi dunia fikir kita!! Karena Kungkungan system—yang merupakan ciptaan manusia—sama sekali tidak berhak dan tidak seharusnya membatasi proses berfikir manusia. Pertanyaan-pertanyaan kecilku adalah pertanyaan yang ku yakini juga pernah melintas dalam setiap kepala orang. Karena pada dasarnya manusia selalu mencari kebenaran. Walaupun dalam hal ini, kebenaran menjadi relatif, bisa saja menurutku benar jika pendidikan harus gratis, tapi menurut orang lain tidak benar. Sampai pertanyaan pertanyaan kecil itu menggiring ke suatu pertanyaan yang sangat fundamental, maka disanalah pencarian kebenaran yang mutlak, bukan relatif bukan juga bergantung pada cara pandang orang. Yang terpenting adalah jangan pernah puas mencari tahu kebenaran, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari diri

Berkepala 2...

Tanggal 9 Oktober yang lalu, tepatnya jam 12.00 siang, usiaku genap menginjak angka 20. Sudah 20 kali aku bersama bumi dan seluruh isinya mengelilingi matahari ,dan aku tak tau berapa waktu lagi amanah besar ini masih di percayakan Nya pada ku, (*amanah besar: menjadi khalifah di muka bumi, menurut QS. Al-Baqarah:30 Tuhan telah menjadikan manusia sebagai khalifah dimuka bumi *). Yang aku tau pasti: semakin dekat saja waktu untuk bertemu dengan Nya, kembali pada Nya.

Selang beberapa hari setelah itu, seorang teman ku bertambah usianya. Kesadaran akan waktu bertemu dengan sang khalik yang semakin dekat tak ingin kusimpan sendiri. Sembari mengucapkaan selamat ulangtahun, aku pun mengingatkannya soal waktu pertemuan dengan sang Khalik yang semakin dekat. Dan tanggapan dari nya:
“… smakin dekat waktu mempertanggungjawabkan amanah ini, banyak yang harus di introspeksi…”
Sangat menarik…Pernyataannya tadi membawaku pada situasi dimana diri ini disesaki oleh sejuta tanya merujuk pada seberapa baik aku menjalankan amanah itu, dan membawaku untuk mengevaluasi diri. Namun sebelum mengevaluasi kembali kupertanyakan apa makna kedewasaan sesungguhnya?

Banyak versi soal makna dan urgensi kedewasaan, tapi kali ini aku tertarik pada pandangan seorang teman. Menurutnya:
“ Di dunia ketiga yang kehidupan social, ekonomi, dan politiknya morat marit –semacam Indonesia--, kedewasaan dalam arti sesungguhnya sulit didapat dan di perlihatkan. Di tempat-tempat umum, ruas-ruas jalan hingga bangku perkuliahan, banyak orang orang melakukan aktivitasnya bukan dikarenakan pertimbangan yang di dasarkan atas kesadaran “ruh” yang ia ikat dengan fundamental nilai yang diyakini. Bahkan untuk meyakini nilai tertentu, orang-orang tadi tidak memilihnya dengan kesadaran. Keyakinan yang tumbuh lebih condong diakibatkan karena lingkungan dan factor keturunan yang menuntutnya demikian (dan ini tidak dewasa!!)”
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa kedewasaan yaitu suatu kondisi dimana setiap perbuatan dan perkataan berlandaskan pada keyakinan yang secara utuh diyakini. Bahkan proses untuk mencapai keadaan itu juga merupakan sebuah kedewasaan. Karena kedewasaan adalah suatu proses, suatu tahapan, yang tidak sekonyong-konyong terjadi pada seseorang. Lebih jauh lagi, dengan keyakinan yang utuh seorang akan siap menerima konsekuensi logis dari setiap tindakannya. Dan aku sepakat dengan definisi kedewasaan versi temanku tadi, dimana kedewasaan diartikannya sebagai sebuah kesadaran sempurna untuk memilih dan mengetahui konsekuensi jalan hidup yang akan diambil.

Maka inti dari sebuah kedewasaan adalah penemuan sebuah kebenaran hakiki untuk diyakini dan menjadikannya landasan setiap tindakan. Jika aku bercermin, maka keyakinan yang aku yakini adalah keyakinan aku dapat sejak lahir, yang di bawa oleh kedua orang tuaku. Dalam perjalanan hidupku tak dapat kusangkal lagi kalau pendidikan soal keyakinan yang aku dapat sifatnya dogmatis semata. Yang diajarkan di dalammya sebagian besar adalah menyangkut tata cara beribadah, hubungan vertical antara mahluk dengan Tuhan, dan ajaran moral, bagaimana menjalin hubungan antar sesama manusia. Tapi Tuhan bijaksana, Tuhan memberi manusia akal untuk berfikir. Tuhan memberiku akal, dan aku beruntung karna mau menggunakannya untuk mencari tau nilai mana yang harus kuyakini dan kujadikan landasan setiap tindakannya.

Terkait dengan amanah manusia menjadi khalifah di muka bumi, aku yakin amanah itu akan dijalankan dengan baik jika aku paham, mengerti dan menerapkan nilai-nilai keyakinan itu. Amanah tersebut dapat direalisakan berupa karya yang berguna utuk kesejahteraan manusia, baik kecil maupun besar. Yang tersisa menjadi pertanyaan sekaligus evaluasi untuk diri ini adalah: ketika sudah kutemukan keyakinan itu , apakah aku sudah menerapkan nilai-nilai tersebut dalam semua sendi kehidupanku? Apakah semua tindakanku sudah berlandaskan nilai yang kuyakini? Atau malah belum paham dan belum mengerti nilai-nilai tersebut secara utuh? Jawabnya hanya aku yang tau. Bukankah proses memahami, mencari tau adalah bagian dari sebuah kedewasaan?

Ucapan terimakasih ingin kusampaikan disini untuk teman-teman yang sudah memberi ucapan dan doa buat ku baik melaui sms atau telfon. Doa yang sama kupanjatkan untuk teman-teman. Terimakasih kepada (terurut berdasarakan waku):
1. Hanief MT05
2. Alief MA04
3. Widy STT Telkom
4. Untung
5. Widya TL 05
6. Sari UNPAR
7. Tiwi TL05
8. Shinta TL05
9. Retno TL05
10. Resta IPB
11. Nuri STT Telkom
12. Dian Marya TL05
13. Della TL05
13. Neng UGM
14. Qorry STT Telkom
15. Shiddiq STT Telkom
16. Jaya IF02
17. Gustav IPB
18. Yunendra IKJ
19. Ila TL05
20. Ulan UI
21. Aruna STT Telkom
22. Uta IPB
23. Ajeng IPB
24. Luki UPI
25. Alfa (yang pasti bukan alfanya candy / kembarannya Anthony, hehe..)
26. Rizal MS05
27. Mira IF04
28. Jaka STT Telkom
29. Abbas MS04

Saturday, 29 September 2007

bagi-bagi...

Berbagi yuk…
Tau kah kmu? Sejak lahir setiap orang memiliki hasrat ingin tahu yang sangat tinggi akan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan. Semakin gencar seseorang mencari tau, mendalami dan mempelajari sesuatu hal, akan semakin tampak kebesaran alam ini. Dengan begitu akan tampak pula kelemahan diri dan tentu saja akan mengurangi keangkuhan diri.
Bukan begitu bukan? => Sesuai dengan pribahasa: seperti ilmu padi kian berisi kian merunduk, ah klasik sekali tapi benar adanya.. hihi…
Untuk menghindari keangkuhan diri dan menjadi seperti padi ada baiknya klo memanfaatkan blog ini untuk berbagi hal dalam kehidupan. Karna pada dasarnya seorang manusia selalu akan mendapatkan kesan dan memberikan apresiasi terhadap suatu hal dalam kehidupan… jadi selalu ada yang bisa dibagi..