Sunday 19 April 2009

mencontek

Wuaduh wuaduh… milis angkatan panas nih… Kebakaran? Bukan bu, pak, tante, om,,, tapi ini loh ada yang nyontek!!! Mahasiswa “terbaik bangsa “ menyontek… hihi..

Ntah lah siapa oknum nya tapi yang jelas si oknum meninggalkan jejak2 contekan nya. Pan jadi bahan omongan para pengawas, bisa jadi “pitnah” (klo kata orang sunda sih) juga tuh.

Beragam tanggapan mencuat. Ada yang menanggapi dingin “ itu sih urusan dia dan tuhannya”, ada yang berpendapat ini soal moral dan etika, ada juga yang makin memperpanas suasana “iya gw juga nemu contekan slide makul*** di HP si –yebut nama- (hahahha, ini mah tanggapan dari gw, sampe ahirnya gw kena semprot temen lain untuk ga nyebut nama, ooopppsss, jadi maap-maapan deh kaya lebaran). Serunya lagi… topik mencontek ini jadi ajang pengakuan untuk mereka yang pernah mencontek dan perjalanan proses bertaubatnya dari perbuatan menyontek.

Tanggapan teman-teman jadi merembet ke hal2menarik lain (jelas, karna menurut gw emang semuanya berhubungan). Ada yang nyinggung klo ga nyontek ga bisa dapet kerja yang gajinya gede (bu, pak, rejeki mah ga ketuker), ada yang ngebahas positif negatif nya mencontek misalnya dalam hal manajemen resiko (sumprit dah, kaga pernah kepikiran tuh gw) keren dah, hehehhe….Ada yang memberi petuah menyejukkan hati untuk ga mencontek, ada yang bilang nyontek ga merugikan yang lain, dan ada oknum X yang nyinggung soal system pendidikan di Indonesia, menarik ya?

Kira –kira begini pertanyaan dari oknum X:
• Kenapa sih hasil dijadikan acuan keberhasilan pendidikan daripada proses?
• Apa system pendidikan yang ada membuat kita untuk mencontek?
• Terus kalo ga dinilai pake angka pake apa dong?

Au aa uu aa uu aa uu
Eeeaaa…….
Bingung harus mulai dari mana ngebahasnya.

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan oknum X dapat diuraikan bahwa mencontek terjadi atau terpaksa terjadi karna pelakunya menginginkan angka-angka yang tinggi, baik dengan atau tanpa mengesampingkan proses. Pendewaan terhadap angka-angka ini saya yakini sebagai reaksi dari sebuah aturan yang ditetapkap. Jika angka di bawah 5,5 maka tidak lulus UAN, jika ada angka 5 di raport maka tidak naik kelas, atau jika IPK kurang dari 3.00 maka tidak bisa lamar ke perusahaan besar. Untuk orang –orang yang berorientasi pada hasil (angka) sepertinya angka dipandang sebagai alat ampuh untuk mencapai jenjang hidup berikutnya. Sebaliknya, orang yang memegang teguh prinsip pendidikan tentu tidak akan membicarakan angka melainkan “nilai”. (ga perlu sekolah kan kalo cuma mau dapet ilmu, dapet pengalaman, dll)

Memangnya pendidikan butuh penilaian ya? Butuh raport? Butuh Ijazah? Pendidikan menurut KBBI berarti sebuah kegiatan perbaikan tata-laku dan pendewasaan manusia melalui pengetahuan. Jadi jika ingin mengukur pengetahuan dan pemahaman-pemahan seseorang (keberhasilan pendidikan) tentu dinilai dari tuturkata, kematangan berperilaku nya kan? Kalau temanku bilang suksesnya pendidikan bisa dilihat dari bagaimana hubungan dia dengan tuhannya, seberapa karyanya yang bermanfaat untuk masyarakat. Sedangkan menurut Pak Harfan dalam Laskar Pelangi, keberhasilan pendidikan dilihat dari hatinya (maksudnya akhlaknya kali yah?). Apa itu semua bisa dikonversi dalam angka? Rasanya sulit.

Kalau kembali melihat pendapat teman-teman di milis, terutama soal motivasi mencontek untuk mendapat nilai bagus dan diterima kerja di perusahaan besar, maka saya jadi berpikir sistem pendidikan hanya berorientasi untuk menghasilkan tenaga kerja untuk kepentingan industri semata. Pendidikan menjadi kehilangan maknanya sejatinya.

Lantas saya jadi penasaran bagaimana awal mula terciptanya system penilaian pendidikan melalui angka? Ada yang tau? (ngebet pisan pengen tau)

Saya jadi greget buat ngarang nih, mungkin dulu (mungkin juga sampe sekarang) institusi pendidikan dibuat untuk menciptakan tenaga kerja ya? Misalnya untuk menyuplai tenaga kerja di pabrik-pabrik gula jaman dulu. Nah pan sekarang jumlah pabrik jauh lebih sedikit dari jumlah buruh intelek yang dihasilkan dari institusi pendidikan tuh, makanya butuh system seleksi. Kali aja system seleksi itu bernama angka2, IPK, ato apalah yang dikemas dalam selemba kertas –ijazah-. (Hahahhaha, seru juga ngarang-ngarang cerita). Makanya dibutuhkan banget nih info sejarah/asal mula ijazah/raport.

Jika sudah bermain dengan angka rasanya tidak cocok jika bahasannya pendidikan ya? Harusnya pengajaran. Karna menurut saya pengembangan kepribadian dalam pengajaran hanya sebatas pengembangan intelektual secara kognitif. Lalu mengapa namanya institusi pendidikan? Hmmm… Jadi bingung sendiri. Sejatinya pendidikan sendiri merupakan proses kan? Seperti apa kata Dewey dan kata Freire. (Bakal pajang lagi kalau membahas filosofi pendidikan mah, rieut pula)

Tuesday 14 April 2009

beres-beres dini hari

Cisitu XXXXXXX pukul 02.20 dini hari

Huahahaha….
Hampir aja lupa user id dan password blog sendiri. Lima bulan lamanya tak kutengok ini blog (eh nengok sih, tapi cuma ngintip bentar doang) Kemane aje non? Kamarana neng Nila? (ikut-ikut tulisan $%^&^) hihi…

Begini teman-teman.. saudara-saudara semuanya…
Sudah dari jauh-jauh hari saya berencana untuk menuliskan apa yang melintas di kepala saya… (ada lalet ijo, ada nyamuk aedes aegypti, bahkan ada helicopter bell armatim) rasanya ingin sekali berbagi rasa, berbagi tanya (ah banyak tanya wae), tapi sekarang dah lupa mau nulis apa.. berhubung dah jam 02.20 malem, jadi pikiran rada-rada ga beres….

* 15 menit kemudian*
Oiya jadi inget, waktu itu sempet kepikiran tentang beberapa hal seperti: pemilu yang berujung ke ruh demokrasi, mennyontek yang ujung2nya mempertanyakan soal penilaian keberhasilan proses belajar (dari angka2 saja kah?), trus pa lagi yah… Yah palagi klo bukan soal TA dan PKM Penelitian saya.

Nah sembari mengingat-ingat apa yang mau di bagi secara detail saya rapikan dulu ya blog saya… dah bosen dari dulu item mulu.

*setengah jam kemudian*

Arrrrgggghhhh…. Lagi praktek bikin label eh ada 3 postingan yang ke hapus, masih ada back up nya sih jadi bisa dipublish lagi… tapiiiiiiiii tapi kan komennya ilang semuaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa………..
Iibuuuuuuuuuuuuuuuuuu………tolongggggg.....

Kembalikan komen-komen buat ku hoy… hoy kau,,,kau yang mengambil komen2... kembalikan kau…..

Ah sudah lah, sudah dikejar tapi ga kekejar. Komen2 itu lari bersama kereta uap, sedang saya mengejarnya pake sepeda ontel. Tahpapa… -_-“

Tidur aja dah....

sentimen kesukuan...

Teman…

Apa ada yang punya alasan kenapa sampai saat ini masih saja ada sentimen kesukuan? (Terutama suku jawa dan sunda…). Ada alasan kenapa sentimen itu harus dipertahankan?

Aku bukan orang beruntung -yang gemar mempelajari sejarah- dan juga bukan orang yang peka terhadap sekitar. Karena itu aku ga pernah sadar akan adanya sentimen kesukuan yang diturunkan para leluhur. Ditambah lagi aku tumbuh di keluarga yang ga rasis, sodara-sodaraku adalah kombinasi cantik dari percampuran berbagai suku di Indonesia; jawa-sunda, sunda-minang, sunda-betawi, sunda-lampung, dll.

Sewaktu tinggal di tanah jawa (Jepara), jika aku berkenalan dengan orang maka dipastikan pertanyaan yang hampir selalu muncul adalah “ asli mana mbak?”… Sebagai anak bangsa yang terlahir di tanah sunda (walo sebenarnya adalah peranakan dari kombinasi suku x dan suku y, ku jawab saja dengan singkat “ sunda”. Tapi lama-lama cape juga ketemu pertanyaan ga penting yang berulang-ulang ditanyakan. Kalo lagi ga berutung si mpunya pertanyaan bakal mendapati aku menjawab dengan judes “ orang Indonesia” wkwkwkkw… Heran kenapa mesti nanya suku sih? Macem ga ada pertanyaan lain aja.

Disuatu waktu, temanku –seorang cewe sunda- bersedih hati karna diputus pacarnya –seorang cowo minang-. Taukah alasannya apa? Alasannya ibunda sang cowo ga setuju anaknya menikah dengan cewe itu lantaran si cewe bersuku sunda. Pengen ketawa deh, tapi bukan menertawakan tragedy putusnya cewe sunda dan cowo minang, melainkan menertawakan manusia yang mau aja melestarikan upaya londo-londo itu (konon sentimen kesukuan dibangun sebagai upaya memecah belah nusantara)… Entah apa yang melekat pada citra cewe sunda, padahal temenku itu wanita baik-baik, ga neko-neko lah

Selain dua hal tadi cerita tentang kesukuan terutama tentang larangan pernikahan antara suku jawa dan sunda jadi sering mampir di telingaku. Ada pandangan cowo sunda pemalas dan ga setia, cewe sunda boros, tukang dandan, cowo jawa dan cewe jawa kalem tapi ngeleyeud ceunah mah.. Wuakakakak itu semua benar-benar membuatku aku tertawa lepas. Makin ga habis pikir deh, apa sih penyebabnya?

Dimulailah pencarian jawaban. Ternyata semuanya bermula dari cerita Perang Bubat antara kerajaan Majapahit dan kerajaan Pajajaran. Cerita lengkap tentang dapat dibaca disini . Ato baca buku nya langsung.

Tulisan tersebut membuatku tertawa (lagi-lagi) sekaligus berpikir keras kenapa suku harus dipermasalahkan. Kenapa sebuah ikatan atas dasar tanah kelahiran sukses membuat manusia saling berburuk sangka dan saling mengejek satu sama lain, juga sukses membuat manusia menjadi sosok yang angkuh (seenaknya menilai orang hanya dari sukunya). Kenapa???? Manusia kan ga pernah bisa milih mau lahir dari suku apa.

Satu lagi: ternyata mempelajari sejarah itu penting. Hehehe… Kata Pramoedya Ananta Toer salah satu kesalahan pada bangsa ini adalah generasi muda yang tidak tahu sejarah (macem gw ini)

Saturday 8 November 2008

bingung mau ngasih judul apa

[Desa xxxx Leuwi gajah bandung, 8 November 2008]

Kebutuhan untuk mengaktualisasi diri dalam bidang keprofesian, mengantarkan aku dan teman-teman berada di sini. Di depan rumah pak RT yang menghadap beberapa petak sawah dan beberapa tumpukan sampah yang membukit. Wanita berjilbab mempersilakan kami memasuki rumahnya dengan sangat amat santun. Kami, mas Widyo -tokoh masyarakat-, pak RT dan beberapa pemuda setempat mengambil posisi duduk di ruang tamu rumah itu. Sungguh apa yang diutarakan beliau-beliau membuatku merinding sekaligus bersiap menghadapi tantangan intelektual yang aku yakini akan mengaasikkan.

Kedatangan kami adalah untuk mengidentifikasi masalah yang ada di desa ini. Sebagai landasan bagi kami untuk merancang aplikasi teknologi yang diharapkan dapat memecahkan masalah yang ada. Maka agenda hari ini adalah berkeliling desa melakukan observasi pada sanitasi desa, sampah, air bersih, dll. Sesekali kami bertamu ke rumah warga untuk mencari tahu keluhan-keluhan warga. Dari awal aku sudah yakin pasti agenda ini adalah agenda yang berat dilakukan. Keyakinanku diperkuat oleh argumen seorang dosen yang menungkapkan bahwa tahap identifikasi masalah adalah tahap paling sulit dalam merancang system yang akan dibangun.

Perjalanan dimulai. Kami sampai di lokasi sebuah mck umum yang sangat amat sederhana, hanya berupa lahan sempit yang pagari oleh anyaman bambu dengan bambu-bambu rapuh sebagai tiangnya dan sebuah pompa air berkarat. Mck ini digunakan oleh kira-kira 4-6 kepala keluarga. Melihat perwujudannya aku jadi bingung. Air buangannya dialirkan kemana? Daerah ini lebih tinggi dari areal persawahan, jika memang mengalir ke sawah lantas pencemar apa saja yang mengkontaminasi tanaman padi? Jika padinya dikonsumsi lantas apa dampaknya bagi manusia? Lalu bagaiman kualitas air tanahnya? Layakkah digunankan sebagai sumber air minum?

Berkomunikasi dengan warga desa pun ternyata bukan hal yang mudah. Butuh waktu agak lama buatku merangkai kata-kata yang sekiranya dapat dipahami. Ugh.. bertanya saja sulit.. hehe.. ga heran kenapa ada jurusan komunikasi masa.

Belum sampai mengelilingi desa 75% nya secara spontan keluar celetukan iseng dari mulutku: “ ternyata lebih gampang KP (kerja raktek) daripada pengabdian masyarakat, berarti mengabdi kepada industri lebih gampang dari pada mengabdi kepada rakyat…” hehe…

Terserah apa kata orang, itu cuma ungkapan spontan dari seorang aku. Waktu dihadapkan untuk mengidentifikasi masalah di industri (KP) memang terasa sulit dan merasa super duper bodoh, tapi aku merasa lebih super duper bodoh saat ini, saat dihadapkan pada permasalahan masyarakat. Kenapa diri ini rasanya tidak peka dan jeli mengetahui masalah yang ada pada masyarakat. Rasanya lebih punya gambaran yang jelas tentang apa-apa yang ada di industri ketimbang di desa ini. Ahhh kenapa rasanya permasalahan masyarakat lebi sulit daripada industri…

Semakin tersadar akan apa yang pernah teman-teman kampus diskusikan, bahwa bahkan kurikulum pun dibuat untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan kebutuhan masyarakat. (Yeee… nyalahin kurikulum!!) Padahalkan di bangku kuliah juga diajari teknologi tepat guna kok (sksnya memang cuma dikit sih, pilihan pula, hmm mungkin gw nya aja yang ga cerdas)

Ahhh semoga hanya aku seorang yang merasa seperti ini. Jika memang beribu-ribu mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi merasakan hal yang sama denganku, lalu apa artinya? Jangan sampe gitu atulah...

Tuesday 28 October 2008

Jangan lagi ada korban!!

Beberapa menit lalu telingaku dijejali cerita yang bikin aku geram dan membuat ingin segera menuliskannya disini… Tidak boleh ada korban lagi!!!!

Baiklah, semua yang menyakitkan dan menyenangkan tentang dia sudah kulupakan, sudah ku ikhlaskan rasa penasarannku ini tak terjawab, perasaanku terhadap dia sudah normal seperti perasaanku terhadap tukang jual batagor, tukang parkir, ibu kantin, dosen, pegawai ITB, orang yang lagi nyebrang, orang kebanyakan, bahkan orang yang tak ku kenal. Menuliskan ini bukan berarti membuka luka lama, karna luka itu sudah kering lalu hilang tanpa bekas sedikitpun. Menuliskan ini tidak lain hanya karna aku tak ingin teman-teman cewe lain menjadi korban,,,, (mikir dulu kira-kira apa kata yang tepat), hm mungkin korban ke-b&^ng@*k an nya!

Cerita yang baru saja ku dengar (dan sudah dipastikan kebenarannya) adalah cerita tentang disakitinya seorang cewe (yang ternyata adalah temanku juga) oleh cowo dengan cara yang … argghhhh!!!! Cara yang kejam dan jahat, namun tak terlihat seperti kejahatan. Modus kejahatannya adalah sebagai berikut: taklukkan lalu ditinggalkan tanpa kejelasan!!! Setelah cewe ditaklukan (plizzz untuk cewe-cewe jangan mudah takluk, di inkubasi sajalah hatinya jangan sampai meleleh wwkwkwkk) maka terbukalah jalan untuk menjalin komunikasi yang intensif. Melalui komunikasi tersebut digencarkanlah serangan-serangan yang membuat cewe manapun akan menyimpan harapan yang besar terhadapnya (rasanya ga perlu disebutkan baik pernyataan atau sikap yang membuat cewe berharap banyak).

Setelah itu dimulailah permainan laying-layang: tarik ulur. Permainan sangat sadis, karna ketika si cewe sudah mulai berusaha melupakan, cowo b%en&*@ itu datang kembali dengan gempuran infectious (yang pada ujungnya menginfeksi hati :D wkwkwk). Lalu menghilang lagi. Kondisi tersebut mengalami iterasi sampai titik tertentu dimana cowo itu akhirnya menghilang tanpa kabar…

Begitulah kejahatan yang juga menimpaku dulu. Mungkin lebih parah daripada yang menimpa temanku. Si cowo $%#ng#@k itu menyatakan isi hatinya dan mengungkapkan harapan2 di kehidupan kedepan, hmm… Dan ternyata,,, bukan cuma aku dan temanku yang jadi korban, menurut seorang teman dia juga pernah melancarkan serangannya kepada seorang cewe yang ga boleh diketahui identitasnya. Wew!!!

Ga enak untuk menuliskan ini, semoga bisa jadi pelajaran hidup yang berarti. Pelajaran untuk tidak mudah ditaklukan, tidak mudah percaya sama cowo, namun bukan berarti harus menutup diri. Perlakukan saja semua cowo sama rata.: semuanya teman. Menjalin pertemanan toh sama saja dengan memberi kesempatan orang lain untuk mengenal kita apa adanya, dan kesempatan kita untuk belajar memahami orang lain. Kalau si cowo dah ngebahas masalah-masalah sensitive (soal perasaan) kabur ajah... Wuakakaka, ga ding! Penanganan nya tentu akan berbeda untuk setiap orang, jika memang teman-teman merespon positif dan siap membina rumah tangga & menciptakan generasi terbaik dunia tentunya! ☺ Suru aja dia ngadep enyak babeh…hehehe.. (Mulai sok tau nih gw, macem dah makan asem garem kehidupan aja))

Ok serius lagi ah! Jangan sampai kesalahan fatal dalam hidupku ini terulang atau terjadi pada teman-teman. Pelajaran penting: bahwa memang tak seharusnya kita menggantungkan harapan kepada selain Dia.

Nona Sekrup..

Nona sekrup

[Jepara xx Juli 008] Masa-masa menjalani on-job trainig di suatu perusahaan swasta nasional terkemuka masih ku jalani saat itu. Setelah seharian menemui wujud istilah-istilah yang selama ini hanya ku dapat dari buku, aku mencoba santai sejenak dengan mengaktifkan messenger ku. Maksud hati bersantai eh malah ketemu temen yang ngajak debat!!! Bikin emosi….

Aku lupa pernyataan tepatnya, intinya dia ngatain aku sebagai sekrup kapitalis! Entah karna sedang kelelahan lantas menjadi sensitive, aku menganggap dia merasa hanya dialah yang paling benar. Dari pernyataannya seolah Pak A%$#&* (pendiri perusahaan) tidak ada bagus-bagusnya, beliau hanyalah bagian pendukung dari system penganut kapitalisme yang telah mengakar saat ini, dan aku sebagai OJT di perusahaannya adalah sekrup kapitalis…

Hal tersebut membuatku geram, kenapa dia tidak melihat sisi baiknya Pak A%$&*^. Bukankah jauh lebih baik menciptakan mesin sendiri; menghidupi beribu kepala keluarga daripada hanya sekedar mengomentari harusnya gini-harusnya gitu.. Dengan jengkel nya aku hanya menggempurnya dengan pertanyaan: “ emang lu dah berbuat apa? Bisanya cuma komentar!!” dia malah balik bertanya apa yang sudah kuperbuat. Aku memang belum berbuat apa-apa tapi aku ga menilai Pak A%$#^& buruk. Kalo ga ada beliau jumlah pengangguran di negri ini pasti lebih banyak!!

Nuraniku ga bisa berbohong mengenai apa yang pernah kami sepakati sebelumnya bahwa system yang berlaku saat ini sifatnya tidak mensejahterakan banyak orang. Menjadi bagian dari system tersebut (walau hanya jadi sekrup) punya peran dalam memperpanjang usia system menguasai dunia ini: itu pandangan umum. Tapi siapa yang tau pandangan orang lain. Barangkali Pak A&*^$% punya strategi tersendiri untuk mensejahterakan orang dan tetap bertahan dalam system yang ada. Memangnya menghancurkan sebuah system mutlak harus dilakukan dari luar system? Gimana mau manghancurkan kalo ga kenal apa yang mau dihancurkan. Atau bisa aja kan menghancurkan dari apa yang ingin dihancurkan.

Aku pikir setiap orang punya caranya sendiri untuk mewujudkan apa yang diyakini nya benar, yang pentingkan niat! Dalam hal ini mungkin cara ku dan cara teman tadi berbeda… jadi tolong hargai perbedaan ini, ga usah maksa!

Bagaimana menurut teman-teman? Salahkah menjadi sekrup kapitalis? Atau mungkin pertanyaannya: burukkah kapitalisme itu?

Monday 1 September 2008

Menuju Jepara.... ^^

Waktu menunjukkan pukul 13:45 tidak ada keterlambatan dari waktu tiba yang diperkirakan. Kuturuni anak2 tangga sambil menatap jauh kedepanku. Kurasakan hangat udara menyentuh wajah dan kedua telapak tanganku… Ah babak baru sepotong kehidupanku di tanah jawa segera dimulai. Potongan kehidupannku yang tidak kunanti, namun tidak ku hindari dan sudah tentu tidak kuketahui corak dan warnanya. Satu yang pasti potongan ini akan melengkapi puzzle kehidupanku yang cuma sekali ini saja.

Seorang bapak dengan logat jawa yang kental bertanya “ Mba Nila?’. “Iya Pak” jawabku. Segera iya membawakan koper ku ke sebuah kendaraan yang diparkir tidak jauh dari tempat kami bertemu. Dengan santunnya beliau mempersilakan aku masuk ke dalam kendaraan. Kasihan sekali, bapak yang ditugaskan menjemputku itu ternyata telah lama menungguku. (Maaf kan aku Pak.. Padahal pesawat ga terlambat kok.. swear deh ^^v)

Huff.. akhirnya dingin AC mobil mengobati penderitaan panas yang cuma sebentar saja kurasakan tadi. Dududududu…Mungkin orang akan menganggapku sedikit sakit jiwa. Bagaimana tidak? jika sepanjang Semarang – Jepara dan di sela-sela perbincangan antara aku dengan bapak pengemudi, senyumku tak usai-usainya mengembang lebar. Rasanya terlalu cepat untuk jatuh cinta, aku hanya terpesona oleh kesederhanaan apa-apa yang ku lihat sepanjang kiri-kanan jalan. Bukan oleh bangunan-bangunan besar yang disebut orang sebagai buah peradaban dunia.- yang tentu tidak kujumpai disini. Perjalanan ini sama serunya dengan petualangan dalam imajinasiku, bahwa memang bahagia tidak bisa di beli oleh angka-angka bernama uang. Peralanan Semarang – Jepara yang memakan waktu sekitar 3 jam menjadi terasa hanya beberapa menit saja olehku. (Sepanjang perjalanan ini aku juga sibuk ber yman ria dengan topik perbincangan: perjalanan nila menuju jepara -_-‘)

Mulai memasuki Jepara… Sejauh mata memandang, jalanan kota ini bersih; bersih dari sampah -dalam arti sebenarnya- dan bersih juga dari sampah masyarakat. Melewati wilayah taunan kulihat kios - kios ukir berderet di sisi jalan. Walau hanya melihat sekilas, ukiran-ukiran dari kayu yang nampak tangguh itu mampu membuatku bergumam “ cantik…”

Dan…. Jreng jrenggg…. Di depanku – titik pusat sebuah perempatan besar- tampak patung wanita bersanggul berkebaya dan berkarisma (ah seksi sekali lah pokoknya) bersama anak kecil wanita berseragam sekolahan. Patung siapa lagi kalo bukan patung ibu kita kartini…. (ibu kita?) Patung itu memang menjadi icon yang paling ku ingat sepanjang perjalananku ini

Disebrangnya terdapat bangunan sekolahan. SMU Negri 1 jepara yang berhasil menarik perhatianku (entah kenapa). Sedikit seperti ingin menyelidik, pandanganku tak cepat-cepat kulepaskan dari SMU itu. Tak kusadari ada harapan timbuldalam diri ini: harapan besar pada sekolah itu untuk dapat mencetak putra-putri terbaik bangsa ini… ouchhh…

Tidak begitu jauh perempatan jalan tadi sampailah aku di depan gang selat. Rumah ber-cat warna-warni.diujung kiri gang adalah tujuanku, tempat dimana aku berteduh untuk 2 bulan mendatang. Keluar dari mobil udara panas masih saja mengganggu diri ini yang tak terbiasa dengan temperatur tinggi. Berjalan dari ujung gang ke rumah tujuan saja membuat keningku basah oleh keringat… Arghhh panaaasss….

Sejenak kulupakan panas penggangu tadi..Harus kulupakan…

Setelah berpamitan dengan bapak pengemudi, aku bergegas masuk ke dalam rumah. Belum sempat berkenalan seorang wanita muda membantuku membawakan koper ku… Uh kesan pertama yang begitu menggigit. Wanita muda itu mba Riri yang terlihat sangat ngayom sekali. Mulai lah ku keluarkan jurus sok kenal sok deket ku…Dan berkenalan lah aku dengan penghuni rumah lainnya: Ayu sang OJT 001 (aku OJT 002) yang membuat ku bahagia karna ada teman ber OJT ria..(Ora Jelas Tugase), dan ada mba Dewi yang manis dan menyambut hangat kedatangan ku karena membuatnya ada teman dari jurusan yang sama - teknik lingkungan- ( entah kebetulan atau hanya aku yang mendramatisir dan melebih-lebihkan, setelah kenal lama dengan mba Dewi ada beberapa karakter bawaan jurusan yang membuat kami cocok… dasar Anak TL di ITB ma di UNDIP sama aja @#$$%%^^… hehe men-generalisir) Saat itu satu orang penghuni absen, beliau adalah mba Tresna yang pada akhirnya menjadi mbaku yang paling akrab dengan ku. Bagaimana tidak menjadi akrab jika hampir setiap malam kami lewati bersama, bernyanyi bersama (dan konon katanya nyanyian kita berdua terdengar dari gang pantai, pantas saja gang pantai jarang dilalui orang kalau malam hari wuakakak), tanpa sengaja kami berdua telah membuat standar baru untuk istilah begadang (jam 10 saja sudah berhasil di sebut begadang) hahaha…

(Diwaktu itu aku adalah pendatang terakhir di rumah itu, selanjutnya ada pendatang baru yang istimewa: siapa lagi klo bukan bu Atin tanteku yang begitu berkesan)

Ku tempati kamar atas yang sudah sediakan untukku.. Mulai kurapikan barang-barang bawaanku, yang sebenernya ga ingin kubawa semuanya… Segera mandi untuk mendapatkan rasa sejuk paling tidak, tapi ternyata argh… airnya ga berasa… Opss sudah terlalu banyak diri ini mengeluh soal panas nya Jepara… dan masih ada keluhan lainnya ternyata

Dingdong… Hawa kamar ini membuatku tidak tenang, --ceudeum ceuk orang sunda mah-- sepertinya ada yang selalu memperhatikannku (deuh GR!!!) Eh seriusan ini mah,ngeriiiii kk… Hmm... Melihat ada kamar kosong di bawah aku meminta ijin untuk menempatinya, dan asiiikkkk di ijinkan ternyata. Walau kamar itu kecil sekali dan tanpa lemari, kamar bercat kuning itu seolah menyambutku bersahabat. Mungkin kalau kamarnya bisa bicara dia akan menyapaku “ hai nila… salam kenal” hahahaha.. lebih ngeri lagi atuh ya…

Huuu sudah tenang lah aku di tempat baruku, lalu mencoba barbaur dengan penghuni lainnya. Dan 7 minggu lebih 5 hari kedepan adalah hari-hari yang meninggalkan kesan begitu mendalam bagi ku….uhukuhuk…