Sunday 19 April 2009

mencontek

Wuaduh wuaduh… milis angkatan panas nih… Kebakaran? Bukan bu, pak, tante, om,,, tapi ini loh ada yang nyontek!!! Mahasiswa “terbaik bangsa “ menyontek… hihi..

Ntah lah siapa oknum nya tapi yang jelas si oknum meninggalkan jejak2 contekan nya. Pan jadi bahan omongan para pengawas, bisa jadi “pitnah” (klo kata orang sunda sih) juga tuh.

Beragam tanggapan mencuat. Ada yang menanggapi dingin “ itu sih urusan dia dan tuhannya”, ada yang berpendapat ini soal moral dan etika, ada juga yang makin memperpanas suasana “iya gw juga nemu contekan slide makul*** di HP si –yebut nama- (hahahha, ini mah tanggapan dari gw, sampe ahirnya gw kena semprot temen lain untuk ga nyebut nama, ooopppsss, jadi maap-maapan deh kaya lebaran). Serunya lagi… topik mencontek ini jadi ajang pengakuan untuk mereka yang pernah mencontek dan perjalanan proses bertaubatnya dari perbuatan menyontek.

Tanggapan teman-teman jadi merembet ke hal2menarik lain (jelas, karna menurut gw emang semuanya berhubungan). Ada yang nyinggung klo ga nyontek ga bisa dapet kerja yang gajinya gede (bu, pak, rejeki mah ga ketuker), ada yang ngebahas positif negatif nya mencontek misalnya dalam hal manajemen resiko (sumprit dah, kaga pernah kepikiran tuh gw) keren dah, hehehhe….Ada yang memberi petuah menyejukkan hati untuk ga mencontek, ada yang bilang nyontek ga merugikan yang lain, dan ada oknum X yang nyinggung soal system pendidikan di Indonesia, menarik ya?

Kira –kira begini pertanyaan dari oknum X:
• Kenapa sih hasil dijadikan acuan keberhasilan pendidikan daripada proses?
• Apa system pendidikan yang ada membuat kita untuk mencontek?
• Terus kalo ga dinilai pake angka pake apa dong?

Au aa uu aa uu aa uu
Eeeaaa…….
Bingung harus mulai dari mana ngebahasnya.

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan oknum X dapat diuraikan bahwa mencontek terjadi atau terpaksa terjadi karna pelakunya menginginkan angka-angka yang tinggi, baik dengan atau tanpa mengesampingkan proses. Pendewaan terhadap angka-angka ini saya yakini sebagai reaksi dari sebuah aturan yang ditetapkap. Jika angka di bawah 5,5 maka tidak lulus UAN, jika ada angka 5 di raport maka tidak naik kelas, atau jika IPK kurang dari 3.00 maka tidak bisa lamar ke perusahaan besar. Untuk orang –orang yang berorientasi pada hasil (angka) sepertinya angka dipandang sebagai alat ampuh untuk mencapai jenjang hidup berikutnya. Sebaliknya, orang yang memegang teguh prinsip pendidikan tentu tidak akan membicarakan angka melainkan “nilai”. (ga perlu sekolah kan kalo cuma mau dapet ilmu, dapet pengalaman, dll)

Memangnya pendidikan butuh penilaian ya? Butuh raport? Butuh Ijazah? Pendidikan menurut KBBI berarti sebuah kegiatan perbaikan tata-laku dan pendewasaan manusia melalui pengetahuan. Jadi jika ingin mengukur pengetahuan dan pemahaman-pemahan seseorang (keberhasilan pendidikan) tentu dinilai dari tuturkata, kematangan berperilaku nya kan? Kalau temanku bilang suksesnya pendidikan bisa dilihat dari bagaimana hubungan dia dengan tuhannya, seberapa karyanya yang bermanfaat untuk masyarakat. Sedangkan menurut Pak Harfan dalam Laskar Pelangi, keberhasilan pendidikan dilihat dari hatinya (maksudnya akhlaknya kali yah?). Apa itu semua bisa dikonversi dalam angka? Rasanya sulit.

Kalau kembali melihat pendapat teman-teman di milis, terutama soal motivasi mencontek untuk mendapat nilai bagus dan diterima kerja di perusahaan besar, maka saya jadi berpikir sistem pendidikan hanya berorientasi untuk menghasilkan tenaga kerja untuk kepentingan industri semata. Pendidikan menjadi kehilangan maknanya sejatinya.

Lantas saya jadi penasaran bagaimana awal mula terciptanya system penilaian pendidikan melalui angka? Ada yang tau? (ngebet pisan pengen tau)

Saya jadi greget buat ngarang nih, mungkin dulu (mungkin juga sampe sekarang) institusi pendidikan dibuat untuk menciptakan tenaga kerja ya? Misalnya untuk menyuplai tenaga kerja di pabrik-pabrik gula jaman dulu. Nah pan sekarang jumlah pabrik jauh lebih sedikit dari jumlah buruh intelek yang dihasilkan dari institusi pendidikan tuh, makanya butuh system seleksi. Kali aja system seleksi itu bernama angka2, IPK, ato apalah yang dikemas dalam selemba kertas –ijazah-. (Hahahhaha, seru juga ngarang-ngarang cerita). Makanya dibutuhkan banget nih info sejarah/asal mula ijazah/raport.

Jika sudah bermain dengan angka rasanya tidak cocok jika bahasannya pendidikan ya? Harusnya pengajaran. Karna menurut saya pengembangan kepribadian dalam pengajaran hanya sebatas pengembangan intelektual secara kognitif. Lalu mengapa namanya institusi pendidikan? Hmmm… Jadi bingung sendiri. Sejatinya pendidikan sendiri merupakan proses kan? Seperti apa kata Dewey dan kata Freire. (Bakal pajang lagi kalau membahas filosofi pendidikan mah, rieut pula)

13 comments:

bumi said...

ganti aja namanya jadi institusi pengajaran...... (kaburr.....)

nila said...

Betooooollllll juragannnn...
(kabur juga tidur....)

achmadzaki said...

Mencontek itu wajar kok. Di luar Indonesia juga banyak. Yang ga wajar tu jumlahnya sama kulturnya. Di ITB aku liat kita-kita masih toleran terhadap orang yang nyontek. Kalo di luar negeri ga ada ampun. Nyontek ya DO. Mungkin ini juga yang mengakibatkan bangsa kita juga toleran sama koruptor. ha..ha..so dukung gerakan ANTI MENCONTEK yuk...

Anonymous said...

Halo, Assalamualaikum WR WB

Mampir lagi, boleh ? ( Lagi browse soal beasiswa S2, sekalian ngaudit aset pabrik, terus blogwalk he3x..).

Nila pernah baca Totto Chan dari Tetsuko Kuroyanagi ? Itu, membuka mata hati saya soal pendidikan.

Paradoks Abad 21, kata Eyang Noam Chomski adalah, negara yang memiliki faktor produksi, justru menjadi objek eksploitasi negara yang tidak memiliki faktor produksi namun memiliki kualitas SDM tinggi. Apakah Nila ingat dengan VOC ? VOC adalah multinational corporation yang pertama di dunia, berdirinya di mana ? Indonesia, keren kan, kita dulu dieksploitasi sama perusahaan MNC lhoo, bukan pemerintah Belandanya ( itu, setelah VOC bangkrut). Nila juga pasti kenal Royal Dutch Shell kan ? ( Anglo-Dutch Oil Company), itu, berdirinya pertama kali di Palembang, Indonesia, wow, sudah lebih dari 1 MNC "berdiri" di Indonesia, kereen...^_^

Nila sebut Abah Paolo Freire, mengenai "Kesadaran Kritis", yup, saya banyak terinspirasi oleh beliau juga. Bahwa pendidikan dengan semua sistemnya, adalah untuk membentuk "Konstruksi Berpikir" dan "Tata Nilai" ( sepakat dengan Pak Harfan).

Dua hal ini semacam Operating System, kenapa ? Karena tanpa dua hal ini, semua Knowledge& Info yang kita dapat di ruang kelas, hanya akan jadi "Data Smog", seolah olah kita cuma menyimpan, tapi tidak tahu cara membuat data itu menjadi fungsional. Itu, sekarang jadi kenyataan kaan ?

Karena, sebenarnya kan, proses belajar itu adalah sebuah "Budaya" yang dibentuk dengan "Kebiasaan". Mengutip Romo YB Mangunwijaya, lulusan perguruan tinggi malah menginjak orang- orang yang membiayai kuliah mereka lewat pajak, mereka menggunakan ilmunya bukan untuk membuat lingkungannya menjadi lebih baik, sayang sekali.
Sarjana yang tidak tahu bagaimana memanfaatkan ilmunya, hanya akan diperalat.

Ah, panjang kalau dilanjutkan. Tulisan kamu selalu spontan ya Nila ? Jadi pengin komen kalau baca. Sip, keep your spontanity ^_^

GAL

NB : jadi, menurut Nila, dengan mencontek itu, sudah cukup bukan, untuk menggambarkan output sistem pendidikan kita ? Konstruksi berpikir yang dangkal dan tata nilai yang korup, sayang sekali...

Anonymous said...

beuhh...
mahasiswa emang suka ga konsisten..
ada penyelewengan dana negara, langsung teriak2 di jalan..ada maen mata anggota DPR, langsung demo..anarkis pula..
trus giliran dilarang nyontek,malah puter2 otak bgmn caranya biar masih bisa nyontek asal ga ketahuan..
sebenrnya perilaku korupsi dan menyontek SAMA SAJA!!
sama-sama ga mau diketahui oranglain. sama2 ngumpet. sama2 pengen nilai akhir yg dipandang orang "bagus".sama2 koruptor lah..

mengenai institusi pendidikan..emg ga relevan kalo cuman pake angka. apalagi IP. itu ga sama sekali menandakan 'kepintaran' orang. d kamous mgkn msh belum kerasa, tp klo udh kejebur di dunia kerja, IP ga ada apa2nya..
jika ada mesin waktu,mkgn para pegawai mau lbh aktif di organisasi daripada di lab. intinya bukan aktivis atau bukan. lebih ke pemahaman diri. kedewasaan diri. karena lebih sering berinteraksi dengan orang,org cederung lbh dewasa..lbh mature..

udah deh,kebanyakan..
(tidur siang d kantor dulu..)

nila said...

@ ahmadzaki
(kok bisa terdampar diblogku?)
Hm.. wajar ya? Seperti apa mencontek yang masih dalam rentang kewajaran? tentu akan berbeda-beda untuk setiap orang ya,atau ada standar universalnya? (kalo ada.. buseeeettt.... makin bingung saya Pak)

@ kak Gal
"Mampir lagi, boleh ?" --> boleh
" ( Lagi browse soal beasiswa S2, sekalian ngaudit aset pabrik, terus blogwalk he3x..)." --> wew, sama dong aku juga lagi ngaudit proyek pembangunan IPAL industri tapioka di Pati (tapi fiktif)

Yap, Toto Chan memang inspirator bagi pendidikan.

“Negara yang memiliki faktor produksi, justru menjadi objek eksploitasi negara yang tidak memiliki faktor produksi namun memiliki kualitas SDM tinggi” → Tuhan emang adil ya, kasian sekali klo negara dah ga punya factor produksi trus ga punya SDM tinggi. Hihihi… harusnya (duh jadi inget teh 6%*$ yang bilang mahasiswa itb kebanyakan bilang”harusnya”) iya harusnya hubungan antar negara itu sedemikian rupa sehingga saling menguntungkan ya.

Ga ding!!! Bukan begitu…..Bukan!

Indonesia yang punya factor produksi tinggi tidak ditakdirkan memiliki SDM rendah (akibat system pendidikan yang keliru misalnya) Kesempatan kan diciptakan bukan ada dengan sendirinya, jadi harusnya Indonesia bisa memiliki kualitas SDM tinggi (mungkin nanti kalo factor produksi nya sudah rendah, wkwkwk bolak balik pabalieut) Ah namanya juga paradok ya kak Gal?

Wew, baru tau ternyata banyak MNC “berdiri” di Indonesia.

“Dua hal ini semacam Operating System, kenapa ? Karena tanpa dua hal ini, semua Knowledge& Info yang kita dapat di ruang kelas, hanya akan jadi "Data Smog", seolah olah kita cuma menyimpan, tapi tidak tahu cara membuat data itu menjadi fungsional” → apa cuma dua hal tadi kak? Fungsional bagi siapa? (Duh bingung bikin pertanyaan nya nih, banyak yang pgn ditanya padahal)

Hehe, iya spontanitasku tinggi.

Sepakat, sayang sekali…

@ Alkarami
beuh…
menohok pisan….
Iya tuh pengembangan karakter harusnya dilibatkan dalam pendidikan formal ya kak?

adinovic said...

Kira –kira begini jawaban pertanyaan untuk oknum X: :D

bismillah
sebelum jawab itu, kita coba liat gimana sejarah pendidikan, dikit

aja, karna pasti temen2 sudah sangat ngeh. di wikipedia disebutkan

awal2 proses yang bernama pendidikan dimulakan sejak zaman china (apa

sebelum cina blm ada pendidikan? mungkin saja ada, tapi mungkin

riwayat sejarahnya blm ditemukan, jadi kita anggap saja mulanya dari

cina) ketika berdiri kerajaan2, kemudian berlanjut di peradaban yunani

dan romawi, masa kekhilafahan islam, peradaban eropa, dan era industri

modern. klo kita liat sejarah, pendidikan sangat tergantung pada

kondisi ketika peradaban tsb berkembang. di cina, karna kerajaan2

saling bersaing memperebutkan wilayah kekuasaan dan pengaruh, sumber

daya yang ada dididik supaya bisa menjadi martir2 tangguh, juga para

teknokrat yang bisa menghasilkan senjata yang lebih kuat, juga

strategi perang (walopn kemampuan seperti ini muncul di sbagian orang

sahaja). 'tradisi' ini dapat kita lihat juga di masa romawi, anak2

spartan dididik supaya menjadi pasukan kuat dan berani mati untuk

kaisar.

pendidikan terlihat berbeda di masa yunani, sekolah diambil dari kata

scholes yang artinya waktu luang(liat ttg school di wikipedia). iy,

karna waktu itu yang dimaksud dengan pendidikan adalah, orang tua2

menitipkan anaknya pada 'orang pintar', supaya dididik menjadi orang

yang bijaksana. knapa?katanya mah waktu itu penduduk yunani sudah

sangat makmur, jadi pendidikan bukan untuk mencari pekerjaan (yang

akan meningkatkan tingkat kemakmuran). selain itu, hakikat pendidikan

pada masa yunani(termasuk juga cina) tergantung jga pada aliran

filsafat yang diemban si negara (seperti platonistik, helenisme, klo

di cina macem konfusionisme), bahkan ada cerita di cina ketika

penguasanya tidak menolak pendidikan rakyat, karna takut rakyatnya

jadi pintar dan melawan negara.

di masa kekhilafahan islam, tujuan pendidikan disesuaikan dengan

ideologi negara. maka tujuan pendidikan pada masa itu adalah bagaimana

membentuk anak didik yang memiliki kepribadian islam,

menguasai sumber-sumber hukum islam (menjadi mujtahid, hafiz),

juga menguasai ilmu pengetahuan. termasuk untuk keperluan

jihad, maka dibutuhkan ahli2 yang memiliki kemampuan membuat alat

perang yang lebih kuat. maka wajar daulah islam yang memiliki politik

luar negeri dakwah dan jihad ini sangat mengembangkan ilmu

pengetahuan. keruntuhan daulah islam juga sangat dipengaruhi

pendidikan. karna terlalu berkutat di militer, sehingga proses

pendidikan islam di masyarakat tidak diperhatikan, akibatnya pemahaman

islam masyarakat waktu itu sangat lemah. masuknya pendidikan dari

barat (para misionaris dan sekolah2 kristen<--bukan SARA loh bu)

membawa paham2 nasionalisme, demokrasi, sekulerisme, ikut menjadi

katalis keruntuhan daulah. intinya, keruntuhan masyarakat daulah saat

itu karna orientasi pendidikan telah secara gradual berubah, dari

orientasi ideologis islam, menjadi sekuler--material

loncat ke peradaban industri modern, paradigma pendidikan berubah dari

nilai2 karakter menjadi 'bagaimana sekolah bisa menjadi lahan

investasi yang menjanjikan', dalam artian sekolah pasti ada biayanya,

dan biayanya suatu saat akan kembali dalam bentuk pekerjaan yang akan

meningkatkan tingkat kemakmuran (individu). orientasi pendidikan

dinilai dari sejauh apa pasar (yang dimaksud pasar disini adalah ada

hubungan antara permintaan dan penawran) membutuhkan. salah? yah, saya

sendiri masih bingung, sekarang kan era industri, maka wajar saja

sepertinya klo output pendidikan adalh untuk menjadi bahan baku

industri. klo misalkan saat ini orang dididik supaya bisa lebih

bijaksana, lantas mau makan dengan apa, anak istri mau dihidupin pake

apa??kata2 bijak?

saya sendiri masih bingung dengan istilah pengembangan karakter

(mungkin nila bisa jawab), yang dimaksud karakter disini apa y?

pengembangan karakter agar nantinya menjadi tenaga kerja yang bisa

menghasilkan produktivitas (semata) lebih baik untuk perusahaan?

soal mencontek, kenapa bisa?alasannya mmungkin beda2, g pede lah, blm

blajar lah, tapi hanya karna itu kah. yah, mungkn dah sering denger

aturan kuliah maksimal 6 tahun, DO klo ngulang lebih dari 4x(di prodi

wa sih gitu). macem mana kuliah di itb klo cuma bwt di DO, gimana ntar

prasaan ortu, apa mw dibilang ma tetangga klo anaknya di DO, bijimana

mw kerja klo ip pas2an. yah, ndak da cara lain mungkin, untuk

mengurangi 'kemaluan' :p . toh dosa 'bisa' dibersihkan nanti.. wew kk

wew =.=

huaaaa, susah nil klo kita bicara tentang pendidikan, klo paradigma

pendidikan kita terus berkutat di nilai2 materil (kuliah->kerja->gaji

gede). gimana klo pendidikan kita juga ternyata bagian dari skenario

global kapitalisme, untuk menjadikan SDM kita buruh2 berkualitas

dengan harga murah, g peduli gimana nasib bangsanya kelak. makanya

ketika kita ingin berbicara pendidikan yang seharusnya, kita mesti

kluar dari paradigma pendidikan saat ini. jawabnya, balik lagi ke

pertanyaan dasar manusia, tentang apa yang ada seblm dan stelah

kehidupan, yang menentukan mau bijimana kita hidup. menurut saya hanya

pendidikan islam yang bisa menyelesaikan masalah ini. cuma, saya

sendiri masih susah menemukan referensi gimana strategi pendidikan

islam menghadapi era industri saat ini.

klo soal penilaian dalam pendidikan, mungkin ini mah masalah teknis

nil. waktu di cina, kemampuan prajurit dinilai sama si komandandan,

dari latihan2, waktu yunani (ijazah klo g salah mulai dipake saat

zaman2 ini) penilaian bisa dilakukan langsung oleh sang guru, keluar

ijazah, tapi emang bukan bwt nyari kerja, tapi bwt tanda pernah

belajar pada orang tsb sahaja. pada masa islam, penilaian ditentukan

oleh sang guru, klo sang murid telah bisa melalui kualifikasi

tertentu, bisa naik ke jenjang selanjutny. ijazah/sertifikasi juga

dikenal pada masa tabiin (wa lupa sumbernya, dari inet kok), semacam

standarisasi bagi yang akan mengajarkan alqur'an supaya terjamin

kualitasnya (tapi waktu dulu orang g ngajarin alquran bukan sebagai

pekerjaan), tes ditentukan oleh kesiapan si anak didik, klo siap,

tinggap ngadep guru, lulus lanjoot..klo g salah di alazhar(mesir :p) jg gini..

sori kepanjangan n jwb komennya lama, lama2 mikir ternyata g kluar2, spontan sahaja.. CMIIW

nila said...

@ Ady
"menemukan referensi gimana strategi pendidikan
islam menghadapi era industri saat ini. "-->gw juga pen tau soal itu....

Pengembangan karakter? -->memanusiakan manusia kali ya...Manusia yang seperti apa? yang seperti seharusnya.

Gw juga jadi pusing sendiri...

Anonymous said...

emm menyontek/meniru adalah tingkat paling rendah (primitive) dalam kerja otak. Binatang sebodoh apapun bisa meniru, aktivitas induknya.
Meniru artinya menghilangkan identitas diri, eksistensi dirinya hilang dan digadaikan dengan identitas yang ditiru,, teori ketiadaan." menghilangkan peran diri"
Kreativitas murni muncul dari diri sendiri,, Ide itu mahal harganya,, Ide itu Ego.
Bodoh kalau orang itu tidak punya ego. Menyontek adalah tindakan tidak kreative sama sekali..
Nilai bukan satu satunya Perameter eksistensi kita,, karena Perubahan Adalah Mutlak,, Nilai menganut perubahan,, artinya Semu belaka,,
Hanya Ide yang mampu mengikuti perubahan,, Bersyukurlah Punya Allah sumber kreativitas

Anonymous said...

Tahapa bahasannya,,udah makan sushi aj kita lagi bu,,wkwkwkwkwk,,kaga jadi2 kita mw k sushi tei inih:o(

ady said...

@candra
setuju kk!!sukak nonton mr.brain juga y?da bahasannya di episode 1 itu, hehe. tp klo dibilang g kreatif sama sekali mah kurang stuju kk, bijimanapundia dah memikirkan salah satu alternatif (mikir buwat nyontek itu juga susa kk..blum deg2anny (kyknya mah,meureun,tkut dituduh nyontek)),hanya sahaja alternatifny tidak dibenarkan,yanda yanda?:D
perubahan = mutlak?mungkin malah sebaliknya kk,,secara fisis setiap benda memiliki kecenderungan untuk mempertahankan posisiny(inersia), hukum 1 newton :). nilai juga berubah bukan karna nilai itu sendiri, tapi siapa yang menetapkan dan memandang nilai,bisa jadi nilai berlaku universal dan g tergantung waktu. masalahny justru terletak di siapa yang berhak menetapkan nilai dan bagaimana kita meyakini siapa yang berhak tsb, dan menjalankaninstruksi nilai tsb.. (wew)..

mungkin lbih kayak tpat dibilang gini x y "allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, shingga kaum tersebut yang mengubahnyasendiri.."

fiuh, komen lagi di blognya ni anak, kamana wae ateuh,,mana tulisan barunya ni?sibuk yak?kayak orang ngejar wisuda aja,wkwkwk..

@anonym, mie ayam DU aja kk, yuk yuk.. :)

Anonymous said...

@ady aduh ko jd mi ayam DU kk,,jauh kalee,,haha,,lagian udah kesampean ko sushi teinya ;) haha,,resmi dah ni blog jd tmpat ngejunk gw,,ampuun bu owner :p

kamusarea said...

hebat banget si eneng ini sangat perduli dengan pendidikan ini

i will vote u for the next kandidat mentri pendidikan...

moga2 anak indonesia makin pinter aja =)

salooot banget deh...