Pernah merasa sakit? Aku pernah., sering malahan Di balik rasa sakit itu ada rasa senang, syukur karna masih bisa merasa sakit. Tapi sakit yang mana dulu inih? Jasmani ato kejiwaan? Sakit secara jasmani itu sering, tapi lebih sering lagi sakit pada kejiwaan.
Sakit jenis yang kedua tadi memang sulit di identifikasi, bahkan oleh si penderita. Karna selain tidak terindra, sakit yang satu ini juga tersamar oleh keadaan, lantaran sakitnya terjadi secara berjamaah. Maksudnya tersamar, ya.. gimana yah… keadaan telah membuat si penderita tidak meyadari ada penyakit pada jiwanya, semua baik-baik saja pikirnya. Jenis sakit ini bervariasi tingkatanya, dari tingkatan rendah sampai tingkat yang lebih tinggi, macem stadium gituh…
Entah sampai titik apa namanya, ketika suatu kekuatan besar merasuki si penderita atau ketika zaman sudah kembali berbalik, barulah si penderita tersadar akan sakit yang selama ini di derita jiwanya. Aneh memang, sakit nya tidak terasa sakit namun justru menyenangkan, dan membahagiakan… Lalu mengapa namanya sakit kalau tidak terasa sakit. Ya seperti yang sudah disebutkan diatas, ternyata sakitnya dilakukan secara komunal. Kalau mayoritas orang yang ada adalah penderita, maka sakit itu menjadi tidak tampak, tidak juga terasa, sebaliknya sekelompok minoritas yang tidak sakit justru dianggap sakit. Hal yang dilakukan secara komunal telah mengubah persepsi soal sakit yang aku maksud disini, standar sakitpun jadi berubah atau bahkan berbalik. Ah…segala nya kini jadi menjadi terbalik.
Sebenernya jadi bingung kenapa tiba-tiba jadi menulis ini, padahal sebenernya pengen curhat lagi sakit hati.. hahaha. Klo gitu sih masuk barisan sakit hati ajah, dimana barisannya ya?
Monday, 29 October 2007
Sunday, 28 October 2007
Mengapa?
Argghh…
Rasanya diri ini tak tenang ketika ku temukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengusik pikirku (karna jawaban tadi memunculkan pertanyaan baru, (beuh.. terus aja berulang seperti itu)
Sesalpun bertengger di hati ini, lantaran dulu pernah terlintas tanya dan aku tak mau tau. Seperti tak punya hati.. Atas sentimentil kemanusiaan dan atas dasar entah apa lagi, pertanyaan2 itu melintas dalam ruang fikir ini, namun aku tak punya cukup nyali tuk bertualang menjelajah lintasan pertanyaan tadi…
Rasanya terlalu buang waktu untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Bukankah akan lebih baik jika aku pikirkan bagaimana caranya agar cepat lulus? lalu segera bekerja (bukan menciptakan lapangan kerja) untuk mengembalikan investasi ekonomi yang orang tuaku tanam selama aku kuliah (biaya kuliah kan mahal, sumprit deh!!). Bekerja sebagai abdi Negara (PNS) pastinya tidak bias menggantikan investasi ekonomi tadi secara cepat karna gajinya kecil, jalan pintasnya adalah korupsi. Cara “aman” dan singkat mengembalikan investasi itu adalah dengan bekerja di korporasi swasta entah local atau asing yang pastinya memberi honor besar. Tak peduli lagi apakah korporasi tersebut memakmurkan atau malah merampok orang banyak. Ah.. benar-benar berorientasi pada uang…(--salah satu imbas dari pendidikan yang hanya sebagai mata rantai ekonomi kapitalistik--)
Keinginan mencari jawaban semakin pudar lantaran pihak pengendali system (dalam hal ini; rektorat insititusi tempat aku menimba ilmu) menuntut mahasiswa untuk segera lulus dengan cara membuat kebijakan melipatgandakan SPP kuliah jika masa studi kami lebih dari 8 semester, di tambah kagi kurikulum ITB yang memang berat (ga sempet mikirin realita sosial yeuh.. laporan & tugas banyak pisan)
Hal tersebut itu di bentuk oleh system( --baru system kecil skala ITB, dimana ITB adalah bagian kecil dari suatu system besar yang mencengkram dunia ini--) , yang mengarahkan kita mengikutinya guna mendukung rencana-rencana system, menuntut kita nyaman dengan keadaan yang dibuat seolah-olah benar, menjauhkan kita menemukan sesuatu yang salah dengan menutup mata, hati dan telinga kita dengan segala daya melalui kebijakan-kebijakannya salah satunya.
Tetapi keadaan hasil bentukan system tersebut malah semakin memicu pertanyaan- pertanyaan kecilku mengalir., dan menguatkan keinginan mencari jawabnya. Mengapa begini? Mengapa begitu? Kutanyakan juga pada diriku atas persepsi-persepsi yang dulu pernah mampir di kepala ini. Biasanya pertanyaan itu muncul dari hal yang dirasa tidak sepantasnya terjadi / dianggap sebuah masalah, misalnya pendidikan adalah hak semua warga namun mengapa pendidikan hanya terjangkau oleh kaum bermodal saja? Air adalah kebutuhan pokok & merupakan SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak dimana penjaminan akses terhadap air bersih tertuang dalam aspek hukum, namun penduduk tanpa akses air bersih di Indonesia mencapai 44.8%, mengapa? Masih banyak lagi mengapa- mengapa lain nya. Seleseai satu pertanyaan kujawab maka jawaban tadi menjadi pertanyaan berikutnya, terus saja berulang seperti itu. Ternyata semuamua itu adalah saling terkait. Kondisi ini makin meyakinkan aku bahwa masih banyak teka-teki di dunia ini yang perlu aku pecahkan, perlu ku cari tahu jawabnya.
Pesan yang ingin kusampaikan disini: Ayo kalahkan kungkungan system tersebut, jelajahi dunia fikir kita!! Karena Kungkungan system—yang merupakan ciptaan manusia—sama sekali tidak berhak dan tidak seharusnya membatasi proses berfikir manusia. Pertanyaan-pertanyaan kecilku adalah pertanyaan yang ku yakini juga pernah melintas dalam setiap kepala orang. Karena pada dasarnya manusia selalu mencari kebenaran. Walaupun dalam hal ini, kebenaran menjadi relatif, bisa saja menurutku benar jika pendidikan harus gratis, tapi menurut orang lain tidak benar. Sampai pertanyaan pertanyaan kecil itu menggiring ke suatu pertanyaan yang sangat fundamental, maka disanalah pencarian kebenaran yang mutlak, bukan relatif bukan juga bergantung pada cara pandang orang. Yang terpenting adalah jangan pernah puas mencari tahu kebenaran, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari diri
Rasanya diri ini tak tenang ketika ku temukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengusik pikirku (karna jawaban tadi memunculkan pertanyaan baru, (beuh.. terus aja berulang seperti itu)
Sesalpun bertengger di hati ini, lantaran dulu pernah terlintas tanya dan aku tak mau tau. Seperti tak punya hati.. Atas sentimentil kemanusiaan dan atas dasar entah apa lagi, pertanyaan2 itu melintas dalam ruang fikir ini, namun aku tak punya cukup nyali tuk bertualang menjelajah lintasan pertanyaan tadi…
Rasanya terlalu buang waktu untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Bukankah akan lebih baik jika aku pikirkan bagaimana caranya agar cepat lulus? lalu segera bekerja (bukan menciptakan lapangan kerja) untuk mengembalikan investasi ekonomi yang orang tuaku tanam selama aku kuliah (biaya kuliah kan mahal, sumprit deh!!). Bekerja sebagai abdi Negara (PNS) pastinya tidak bias menggantikan investasi ekonomi tadi secara cepat karna gajinya kecil, jalan pintasnya adalah korupsi. Cara “aman” dan singkat mengembalikan investasi itu adalah dengan bekerja di korporasi swasta entah local atau asing yang pastinya memberi honor besar. Tak peduli lagi apakah korporasi tersebut memakmurkan atau malah merampok orang banyak. Ah.. benar-benar berorientasi pada uang…(--salah satu imbas dari pendidikan yang hanya sebagai mata rantai ekonomi kapitalistik--)
Keinginan mencari jawaban semakin pudar lantaran pihak pengendali system (dalam hal ini; rektorat insititusi tempat aku menimba ilmu) menuntut mahasiswa untuk segera lulus dengan cara membuat kebijakan melipatgandakan SPP kuliah jika masa studi kami lebih dari 8 semester, di tambah kagi kurikulum ITB yang memang berat (ga sempet mikirin realita sosial yeuh.. laporan & tugas banyak pisan)
Hal tersebut itu di bentuk oleh system( --baru system kecil skala ITB, dimana ITB adalah bagian kecil dari suatu system besar yang mencengkram dunia ini--) , yang mengarahkan kita mengikutinya guna mendukung rencana-rencana system, menuntut kita nyaman dengan keadaan yang dibuat seolah-olah benar, menjauhkan kita menemukan sesuatu yang salah dengan menutup mata, hati dan telinga kita dengan segala daya melalui kebijakan-kebijakannya salah satunya.
Tetapi keadaan hasil bentukan system tersebut malah semakin memicu pertanyaan- pertanyaan kecilku mengalir., dan menguatkan keinginan mencari jawabnya. Mengapa begini? Mengapa begitu? Kutanyakan juga pada diriku atas persepsi-persepsi yang dulu pernah mampir di kepala ini. Biasanya pertanyaan itu muncul dari hal yang dirasa tidak sepantasnya terjadi / dianggap sebuah masalah, misalnya pendidikan adalah hak semua warga namun mengapa pendidikan hanya terjangkau oleh kaum bermodal saja? Air adalah kebutuhan pokok & merupakan SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak dimana penjaminan akses terhadap air bersih tertuang dalam aspek hukum, namun penduduk tanpa akses air bersih di Indonesia mencapai 44.8%, mengapa? Masih banyak lagi mengapa- mengapa lain nya. Seleseai satu pertanyaan kujawab maka jawaban tadi menjadi pertanyaan berikutnya, terus saja berulang seperti itu. Ternyata semuamua itu adalah saling terkait. Kondisi ini makin meyakinkan aku bahwa masih banyak teka-teki di dunia ini yang perlu aku pecahkan, perlu ku cari tahu jawabnya.
Pesan yang ingin kusampaikan disini: Ayo kalahkan kungkungan system tersebut, jelajahi dunia fikir kita!! Karena Kungkungan system—yang merupakan ciptaan manusia—sama sekali tidak berhak dan tidak seharusnya membatasi proses berfikir manusia. Pertanyaan-pertanyaan kecilku adalah pertanyaan yang ku yakini juga pernah melintas dalam setiap kepala orang. Karena pada dasarnya manusia selalu mencari kebenaran. Walaupun dalam hal ini, kebenaran menjadi relatif, bisa saja menurutku benar jika pendidikan harus gratis, tapi menurut orang lain tidak benar. Sampai pertanyaan pertanyaan kecil itu menggiring ke suatu pertanyaan yang sangat fundamental, maka disanalah pencarian kebenaran yang mutlak, bukan relatif bukan juga bergantung pada cara pandang orang. Yang terpenting adalah jangan pernah puas mencari tahu kebenaran, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari diri
Berkepala 2...
Tanggal 9 Oktober yang lalu, tepatnya jam 12.00 siang, usiaku genap menginjak angka 20. Sudah 20 kali aku bersama bumi dan seluruh isinya mengelilingi matahari ,dan aku tak tau berapa waktu lagi amanah besar ini masih di percayakan Nya pada ku, (*amanah besar: menjadi khalifah di muka bumi, menurut QS. Al-Baqarah:30 Tuhan telah menjadikan manusia sebagai khalifah dimuka bumi *). Yang aku tau pasti: semakin dekat saja waktu untuk bertemu dengan Nya, kembali pada Nya.
Selang beberapa hari setelah itu, seorang teman ku bertambah usianya. Kesadaran akan waktu bertemu dengan sang khalik yang semakin dekat tak ingin kusimpan sendiri. Sembari mengucapkaan selamat ulangtahun, aku pun mengingatkannya soal waktu pertemuan dengan sang Khalik yang semakin dekat. Dan tanggapan dari nya:
“… smakin dekat waktu mempertanggungjawabkan amanah ini, banyak yang harus di introspeksi…”
Sangat menarik…Pernyataannya tadi membawaku pada situasi dimana diri ini disesaki oleh sejuta tanya merujuk pada seberapa baik aku menjalankan amanah itu, dan membawaku untuk mengevaluasi diri. Namun sebelum mengevaluasi kembali kupertanyakan apa makna kedewasaan sesungguhnya?
Banyak versi soal makna dan urgensi kedewasaan, tapi kali ini aku tertarik pada pandangan seorang teman. Menurutnya:
“ Di dunia ketiga yang kehidupan social, ekonomi, dan politiknya morat marit –semacam Indonesia--, kedewasaan dalam arti sesungguhnya sulit didapat dan di perlihatkan. Di tempat-tempat umum, ruas-ruas jalan hingga bangku perkuliahan, banyak orang orang melakukan aktivitasnya bukan dikarenakan pertimbangan yang di dasarkan atas kesadaran “ruh” yang ia ikat dengan fundamental nilai yang diyakini. Bahkan untuk meyakini nilai tertentu, orang-orang tadi tidak memilihnya dengan kesadaran. Keyakinan yang tumbuh lebih condong diakibatkan karena lingkungan dan factor keturunan yang menuntutnya demikian (dan ini tidak dewasa!!)”
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa kedewasaan yaitu suatu kondisi dimana setiap perbuatan dan perkataan berlandaskan pada keyakinan yang secara utuh diyakini. Bahkan proses untuk mencapai keadaan itu juga merupakan sebuah kedewasaan. Karena kedewasaan adalah suatu proses, suatu tahapan, yang tidak sekonyong-konyong terjadi pada seseorang. Lebih jauh lagi, dengan keyakinan yang utuh seorang akan siap menerima konsekuensi logis dari setiap tindakannya. Dan aku sepakat dengan definisi kedewasaan versi temanku tadi, dimana kedewasaan diartikannya sebagai sebuah kesadaran sempurna untuk memilih dan mengetahui konsekuensi jalan hidup yang akan diambil.
Maka inti dari sebuah kedewasaan adalah penemuan sebuah kebenaran hakiki untuk diyakini dan menjadikannya landasan setiap tindakan. Jika aku bercermin, maka keyakinan yang aku yakini adalah keyakinan aku dapat sejak lahir, yang di bawa oleh kedua orang tuaku. Dalam perjalanan hidupku tak dapat kusangkal lagi kalau pendidikan soal keyakinan yang aku dapat sifatnya dogmatis semata. Yang diajarkan di dalammya sebagian besar adalah menyangkut tata cara beribadah, hubungan vertical antara mahluk dengan Tuhan, dan ajaran moral, bagaimana menjalin hubungan antar sesama manusia. Tapi Tuhan bijaksana, Tuhan memberi manusia akal untuk berfikir. Tuhan memberiku akal, dan aku beruntung karna mau menggunakannya untuk mencari tau nilai mana yang harus kuyakini dan kujadikan landasan setiap tindakannya.
Terkait dengan amanah manusia menjadi khalifah di muka bumi, aku yakin amanah itu akan dijalankan dengan baik jika aku paham, mengerti dan menerapkan nilai-nilai keyakinan itu. Amanah tersebut dapat direalisakan berupa karya yang berguna utuk kesejahteraan manusia, baik kecil maupun besar. Yang tersisa menjadi pertanyaan sekaligus evaluasi untuk diri ini adalah: ketika sudah kutemukan keyakinan itu , apakah aku sudah menerapkan nilai-nilai tersebut dalam semua sendi kehidupanku? Apakah semua tindakanku sudah berlandaskan nilai yang kuyakini? Atau malah belum paham dan belum mengerti nilai-nilai tersebut secara utuh? Jawabnya hanya aku yang tau. Bukankah proses memahami, mencari tau adalah bagian dari sebuah kedewasaan?
Ucapan terimakasih ingin kusampaikan disini untuk teman-teman yang sudah memberi ucapan dan doa buat ku baik melaui sms atau telfon. Doa yang sama kupanjatkan untuk teman-teman. Terimakasih kepada (terurut berdasarakan waku):
1. Hanief MT05
2. Alief MA04
3. Widy STT Telkom
4. Untung
5. Widya TL 05
6. Sari UNPAR
7. Tiwi TL05
8. Shinta TL05
9. Retno TL05
10. Resta IPB
11. Nuri STT Telkom
12. Dian Marya TL05
13. Della TL05
13. Neng UGM
14. Qorry STT Telkom
15. Shiddiq STT Telkom
16. Jaya IF02
17. Gustav IPB
18. Yunendra IKJ
19. Ila TL05
20. Ulan UI
21. Aruna STT Telkom
22. Uta IPB
23. Ajeng IPB
24. Luki UPI
25. Alfa (yang pasti bukan alfanya candy / kembarannya Anthony, hehe..)
26. Rizal MS05
27. Mira IF04
28. Jaka STT Telkom
29. Abbas MS04
Selang beberapa hari setelah itu, seorang teman ku bertambah usianya. Kesadaran akan waktu bertemu dengan sang khalik yang semakin dekat tak ingin kusimpan sendiri. Sembari mengucapkaan selamat ulangtahun, aku pun mengingatkannya soal waktu pertemuan dengan sang Khalik yang semakin dekat. Dan tanggapan dari nya:
“… smakin dekat waktu mempertanggungjawabkan amanah ini, banyak yang harus di introspeksi…”
Sangat menarik…Pernyataannya tadi membawaku pada situasi dimana diri ini disesaki oleh sejuta tanya merujuk pada seberapa baik aku menjalankan amanah itu, dan membawaku untuk mengevaluasi diri. Namun sebelum mengevaluasi kembali kupertanyakan apa makna kedewasaan sesungguhnya?
Banyak versi soal makna dan urgensi kedewasaan, tapi kali ini aku tertarik pada pandangan seorang teman. Menurutnya:
“ Di dunia ketiga yang kehidupan social, ekonomi, dan politiknya morat marit –semacam Indonesia--, kedewasaan dalam arti sesungguhnya sulit didapat dan di perlihatkan. Di tempat-tempat umum, ruas-ruas jalan hingga bangku perkuliahan, banyak orang orang melakukan aktivitasnya bukan dikarenakan pertimbangan yang di dasarkan atas kesadaran “ruh” yang ia ikat dengan fundamental nilai yang diyakini. Bahkan untuk meyakini nilai tertentu, orang-orang tadi tidak memilihnya dengan kesadaran. Keyakinan yang tumbuh lebih condong diakibatkan karena lingkungan dan factor keturunan yang menuntutnya demikian (dan ini tidak dewasa!!)”
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa kedewasaan yaitu suatu kondisi dimana setiap perbuatan dan perkataan berlandaskan pada keyakinan yang secara utuh diyakini. Bahkan proses untuk mencapai keadaan itu juga merupakan sebuah kedewasaan. Karena kedewasaan adalah suatu proses, suatu tahapan, yang tidak sekonyong-konyong terjadi pada seseorang. Lebih jauh lagi, dengan keyakinan yang utuh seorang akan siap menerima konsekuensi logis dari setiap tindakannya. Dan aku sepakat dengan definisi kedewasaan versi temanku tadi, dimana kedewasaan diartikannya sebagai sebuah kesadaran sempurna untuk memilih dan mengetahui konsekuensi jalan hidup yang akan diambil.
Maka inti dari sebuah kedewasaan adalah penemuan sebuah kebenaran hakiki untuk diyakini dan menjadikannya landasan setiap tindakan. Jika aku bercermin, maka keyakinan yang aku yakini adalah keyakinan aku dapat sejak lahir, yang di bawa oleh kedua orang tuaku. Dalam perjalanan hidupku tak dapat kusangkal lagi kalau pendidikan soal keyakinan yang aku dapat sifatnya dogmatis semata. Yang diajarkan di dalammya sebagian besar adalah menyangkut tata cara beribadah, hubungan vertical antara mahluk dengan Tuhan, dan ajaran moral, bagaimana menjalin hubungan antar sesama manusia. Tapi Tuhan bijaksana, Tuhan memberi manusia akal untuk berfikir. Tuhan memberiku akal, dan aku beruntung karna mau menggunakannya untuk mencari tau nilai mana yang harus kuyakini dan kujadikan landasan setiap tindakannya.
Terkait dengan amanah manusia menjadi khalifah di muka bumi, aku yakin amanah itu akan dijalankan dengan baik jika aku paham, mengerti dan menerapkan nilai-nilai keyakinan itu. Amanah tersebut dapat direalisakan berupa karya yang berguna utuk kesejahteraan manusia, baik kecil maupun besar. Yang tersisa menjadi pertanyaan sekaligus evaluasi untuk diri ini adalah: ketika sudah kutemukan keyakinan itu , apakah aku sudah menerapkan nilai-nilai tersebut dalam semua sendi kehidupanku? Apakah semua tindakanku sudah berlandaskan nilai yang kuyakini? Atau malah belum paham dan belum mengerti nilai-nilai tersebut secara utuh? Jawabnya hanya aku yang tau. Bukankah proses memahami, mencari tau adalah bagian dari sebuah kedewasaan?
Ucapan terimakasih ingin kusampaikan disini untuk teman-teman yang sudah memberi ucapan dan doa buat ku baik melaui sms atau telfon. Doa yang sama kupanjatkan untuk teman-teman. Terimakasih kepada (terurut berdasarakan waku):
1. Hanief MT05
2. Alief MA04
3. Widy STT Telkom
4. Untung
5. Widya TL 05
6. Sari UNPAR
7. Tiwi TL05
8. Shinta TL05
9. Retno TL05
10. Resta IPB
11. Nuri STT Telkom
12. Dian Marya TL05
13. Della TL05
13. Neng UGM
14. Qorry STT Telkom
15. Shiddiq STT Telkom
16. Jaya IF02
17. Gustav IPB
18. Yunendra IKJ
19. Ila TL05
20. Ulan UI
21. Aruna STT Telkom
22. Uta IPB
23. Ajeng IPB
24. Luki UPI
25. Alfa (yang pasti bukan alfanya candy / kembarannya Anthony, hehe..)
26. Rizal MS05
27. Mira IF04
28. Jaka STT Telkom
29. Abbas MS04
Subscribe to:
Posts (Atom)