Sunday 25 May 2008

Salah siapa?

Pak Lurah, Penerima yang bukan haknya, Petugas loket pelayanan beasiswa, Pemerintah, Pemberi hutang, Penerima hutang, Pembuat hutang, Penulis scenario, Pelaku scenario…. Siapa yang salah??

Keinginan untuk mandiri atau hanya sekedar meringankan beban orang tua dalam pembiayaan diri lumrah ada pada setiap orang, pikirku. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan beasiswa pendidikan. Di sebuah lantai dasar gedung campus center sayap barat ITB, disamping barisan anak tangga yang menghubungkan lantai dasar dengan lantai diatasnya, disana lah tempat mahasiswa mendapatkan layanan beasiswa. Di depan loket pelayanan beasiswa dipajang beberapa banner berisi informasi beasiswa yang menurutku sudah cukup rinci. Dari mulai jenis beasiswa, jumlah bantuan beasiswa, persayaratan, dan pihak/ perusahaan pemberi beasiswa. Jenis beasiswa yang ditawarkan cukup beragam; beasiswa ekonomi, beasiswa prestasi, dan beasiswa ikatan dinas. Alhamdulillah aku cukup tau diri, beasiswa ekonomi tak lagi kulirik karena aku merasa itu bukan hak untuk ku --masih punya orang tua yang mampu membiayai ku. Kupahami dengan seksama criteria dan syarat yang harus dipenuhi untuk beasiswa prestasi atau pun beasiswa ikatan dinas. Karna diri ini banyak maunya, aku pun kembali untuk tidak melirik beasiswa ikatan dinas, banyak rencana lain setelah aku lulus kuliah, bisikku dalam hati. Kemudian…Senangggg… Harapan untuk mendapat beasiswa prestasi sedikit demi sedikit muncul, ternyata dengan segala keterbatasan prestasi akademik, aku masih memenuhi syarat untuk bisa mendapatkannya. Untuk tahu lebih banyak aku memasuki ruangan itu, kemudian bertanya pada bapak-bapak tua yang kebetulan sedang menjaga loket.
“ Permisi pak, bagaimana prosedur untuk mendapatkan beasiswa prestasi?”, tanyaku.
“ IPK eneng berapa?, bapak itu malah balik bertanya. Ku jawab:”*&, %^ pak”.
“Wah neng, IPK segitu mah banyak di ITB ini, biasanya yang dapet beasiswa prestasi tuh mahasiswa yang IPK nya di atas 3.9. Ada sekitar 110 orang yang punya IPK segitu”….
Wew… rasanya harapan yang tadi timbul kini jatuh bebas dengan kecepatan tinggi
“ Oh gitu ya pak… yawda deh pak, makasi Pak”, balasku dengan nada lemas dan ekpresi kehilangan harapan (ekspresi spontan yang tidak bisa ku sembunyikan atau kukendalikan). Melihat aku yang nampak lemas, bapak tadi membalas
“ Tapi neng, kalo mau beasiswa, ajuin beasiswa ekonomi aja”. Tanpa berfikir lama, aku langsung menolak sarannya “ Ga usah pak, makasih”…..

Sambil berjalan pulang aku jadi teringat beberapa temanku yang mendapat beasiswa (yang pasti bukan beasiswa ikatan dinas) Mereka bukan pemilik IPK lebih dari 3,9 tapi mereka juga bukan berasal keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi. Aku berkata seperti itu karna secara kasat mata pun aku sudah tau harga pernak pernik yang digunakan, dari keseharian mereka yang tampil trendi dan glamour, dengan balutan kain ber merk mahal kaliber dunia, dan dari gaya hidup mereka. Lantas aku jadi bingung “ moso bisa beli baju beratus2 ribu tapi minta beasiswa ekonomi”. Benar saja dari informasi seorang teman yang memang berhak mendapat beasiswa ekonomi, sebagian dari mereka memang mendapat beasiswa ekonomi. Bukan bermaksud sirik, tapi gerah melihat 1 lagi ketidakadilan dari sekian banyak ketidakadilan yang ada. Karna menurutku masih banyak yang lebih pantas dan berhak mendapatkannya.

Perbincanganku dengan teman yang memang butuh beasiswa ekonomi tadi mulai mengalir. Aku heran dan menanyakan mengapa bisa mereka yang tidak berhak itu mendapat beasiswa sedang salah satu syarat mendapat beasiswa ekonomi adalah surat keterangan tidak mampu dari kelurahan (ato kecamatan ato rt rw ato mungkin bikin sendiri ???). Dengan sedikit kesal ia berucap: “ Lah jaman sekarang tuh gampang banget nil untuk minta surat keterangan ga mampu”… Lebih lanjut ia pun mengungkapkan kekesalannya akan hal itu. “ dia kan mampu mbok ya kasih kesempatan ke orang-orang yang emang butuh kaya aku….”

Haduh jadi makin gerah, apa pihak kelurahan yang harus disalahkan karna asal-asalan memberikan surat yang tak sepantasnya di berikan?,menyalahkan petugas pelayanan beasiswa karna tak ketat dalam menseleksi penerima beasiswa? atau menyalahkan mereka yang mengambil bukan hak nya? Segera aku berkesimpulan kalau beasiswa ekonomi tidak selalu tepat sasaran. Banyak orang bilang lebih baik cari jalan keluar daripada mencari pihak yang salah. Tapi aku tetap mau mencari siapa yang salah dalam hal ini, biar saja dibilang kurang baik. Toh hidup bukan dijalani dari pandangan orang-orang.

Kembali ke pertanyaan lalu siapa yang salah? Aku jadi teringat berita yang sering tersiar akhir-akhir ini: penolakan kenaikan harga BBM dan penolakan BLT karna dinilai tidak tepat sasaran. Pernah aku bergumam menimpali aksi para aktivis (yang katanya ditunggangi) menolak BLT, : “ kalo BBM ga naik ya ga ada BLT”. Begitu juga dengan beasiswa ekonomi yang ku nilai tidak tepat sasaran. Dengan logika yang sama: “kalo pendidikan gratis ya ga ada beasiswa pendidikan”… Ya, ternyata permasalahan ini hanyalah permasalahan turunan dari salah satu masalah besar negeri ini: pendidikan.

Jadi siapa yang salah? Apa pemerintah yang harus disalahkan? Karena harusnya pemerintah bertanggung jawab atas pendidikan warganya. Lalu bagaimana dengan pembelaan dari pemerintah dengan pernyataan: “pendidikan bukan semata-mata beban pemerintah tapi semua komponen masyarakat” ?. Dari pernyataan itu aku jadi bingung, bukankah rakyat memilih mereka dan mempercayai mereka untuk mengatur sector-sektor publik? (termasuk pendidikan). Terkesan egois, tapi memang benar kalau itu adalah tugas pemerintah. Kalau manusia tidak saling berkaitan satu sama lain, manusia bisa hidup sendiri-sendiri, maka pemerrintah tidak dibutuhkan!. Tapi nyatanya ada hal-hal yang mengikat orang banyak (menguasia hajat hidup orang banyak, klo kata UUD pasal 33 mah) yang butuh di kelola oleh pemerintah. Jadi aku tetap berkeyakinan kalau pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah.

Apa yang diupayakan pemerintah saat ini dengan melibatkan peran masyarakat dan swasta untuk turut menanggung beban pendidikan hanya menambah masalah baru saja. Lihat saja PTN di Indonesia saat ini, dimana perguruan tinggi pontang-panting mencari jalan untuk membangun kemandirian secara finansial. Berbagai cara ditempuh, walaupun menuai kontroversi seperti dengan membuka jalur khusus yang menuntut banyak uang dari peserta. Pihak PT yakin cara itu tidak menjadi masalah selama kualitas peserta sesuai dengan standar yang ditentukan. Jalur khusus pun dikuatkan dengan alasan sebagai pendukung untuk melakukan subsidi silang. Namun yang perlu diperhatikan dari cara tersebut adalah proporsi antara peserta jalur khusus dengan reguler. Mengurangi porsi penenerimaan mahasiswa baru dari jalur reguler (spmb) sama saja dengan memperkecil akses warga negara terhadap pendidikan. Hal tersebut membentuk pandangan di masyarakat bahwa PT itu mahal, dan berimbas pada penyusutan motivasi anak2 bangsa yang pintar namun kurang beruntung untuk meneruskan pendidikan ke PT.

Hmmm… kacau sekali jika kubayangkan jatah spmb hanya 10% atau bahkan 0 %, artinya pendidikan mutlak mensyaratkan dana besar selain juga kapasitas intelektual yang tinggi. Semoga ini tidak pernah terjadi… (amin) Apa cukup sampai disitu? Masih banyak lagi masalah yang timbul, seperti masuknya kepentingan asing dalam pendidikan. Melalui pendanaan yang dikucurkan para investor seolah meminta kompensasi dengan turut campur dalam kurikulum. Bagaimana kurikulum pendidikan disusun dengan menyesuaikan kebutuhan pasar, sedang di dalam negeri sendiri masih banyak masalah yang belum juga terpecahkan. Hmm pantas saja kurikulum pendidikan selalu berubah-ubah dengan cepat.

Jika masyarakat dan swasta tidak dilibatkan dalam menanggung beban pendidikan, apa pemerintah bisa menanggungnya sendiri? Tentu seharusnya bisa. Lalu bagaimana caranya pemerintah menggratiskan pendidikan? Pendidikan butuh biaya mahal, bohong kalalu pendidikan tidak butuh biaya. Fasilitas, tenaga pengajar, infrastruktur, dll membutuhkan biaya yang tak sedikit bukan?

Begitu sering aku mendengar cerita --yang juga kenyataan-- bahwa negeri kita sangat kaya. Sederhananya: apa kekayaan tadi tidak mampu mengratiskan pendidikan? Atau paling tidak mampu membiayai sebagian besar kebutuhan pendidikan agar pendidikan menjadi murah untuk tingkat ekonomi rendah sekalipun. Menurutku mampu, sangat mampu malahan. Dan pemerintahlah yang berwenang mengelola kekayaan tadi. Mau dikemanakan harta kekayaan negeri ini? Apa kekayaan itu telah habis dibabat oleh asing? Atau hanya untuk mempertebal kantong pribadi atau kelompok tertentu? Jika benar begitu tentu negeri ini tidak akan pernah mampu membiayai kepentingan warganya. sekalipun untuk kepentingan pendidikan yang sifatnya sangat fundamental dalam menentukan maju mundurnya sebuah negeri… Akhirnya kekayaan yang sampai di kas negara terlalu sedikit karna telah banyak dipotong sana-sini. Sejumlah kekayaan itu pun tidak sepenuhnya untuk membiayai keperluan negara? Kenapa? Negeri ini masih punya banyak hutang bung! Sekitar 34% APBN negara dialokasikan untuk membayar hutang luar negri Indonesia. Sedangkan pendidikan hanya mendapat alokasi dana APBN yang belum juga mencapai angka 20%...

Lalu siapa yang salah? Yang memberi hutang? Yang meminjam hutang? Atau mereka yang membawa negeri ini terpuruk sampai ke palung paling dalam, hingga harus terbelit hutang?? [pusingggg…] Atau….. Apa kesemuanya tadi adalah sederet kejadian berantai yang telah direncanakan dengan matang dalam sebuah scenario drama besar dunia? Lalu siapa yang salah? Pembuat scenario? Para pelaku scenario? Atau penonton drama besar itu pun ikut bersalah? [jadi makin pusingggg!!!] Ternyata pandangan kebanyakan orang benar: lebih baik mencari jalan keluar daripada mencari pihak yang salah.. hehehe….. Lalu apa jalan keluarnya???

Thursday 22 May 2008

hihihih

halow halow....
Rasanya resah ketika begitu banyak yang mondar mandir di kepala tapi tak juga sempat dituangkan dalam tulisan.....
Apa daya tuntutan akademis mengalahkan keinginan untuk menuangkan keresahan lalu larut dalam tulisan. Ngerjain tugas aja dah bikin larut selarut2nya sampai jari-jari ini kaku... huaaaa.... pelu design pulpen yuang lebih ergonomis nih...
Ah kenapa yang keluar lagi-lagi adalah keluhan.. hihihihi...
Beginilah kondisi selepas UAS... hihihi...
Yup.. banyak hal baru, banyak perubahan, banyak pergantian, kemusnahan, kebangkitan, keterpurukan, dan sejuta ke ke ke ke lainnya......
Ahahahaha
sudahlah ga penting... ;(