Hai…
Sapaan untuk siapapun itu yang masih sempat dan berkeinginan membaca tulisan di blog kelam ini. Kembali ke tujuan awal blog ini tercipta—berbagi serba-serbi kehidupan-- ,aku ingin mengurai kata menuturkan cerita dari sepotong waktu yang dimulai sekitar 1 tahun lalu, dan semoga saja bisa dipetik pelajaran dari nya. Ya, cerita dari sepotong waktu tersebut sungguh menarik, memesona, dan ada juga memilukan
Rasanya tidak jarang diantara kita yang berkomentar soal para eksekutor, terserah dalam scope apa. Tapi sepengetahuanku dari mulai ketua kelas, pejabat himpunan, kepanitiaan, para pejabat kampus bahkan pejabat pemerintahan daerah dan pusat pun tidak pernah terlepas dari celotehan komentar kita. Mayoritas komentar yang terlontar apalagi kalau bukan komentar miring? Soal kinerja yang buruk? Harusnya gini! Harusnya gitu! Ga becus ngurus ini! Ga becus ngurus itu!? Hal ini terpaksa aku maklumi karna sampai sekarang pepatah kuno “gajah dipelupuk mata tidak nampak tapi semut di seberang lautan nampak” (bener ga tuh pepatahnya? Bisi salah.. Mohon dikoreksi) masih juga berlaku. Orang akan selalu lebih mudah untuk melihat kekurangan orang lain, dan lebih mudah untuk mengkritik tanpa memosisikan diri di pihak orang itu. Mengapa? Mengutip pendapat seorang teman: “.. kita sama-sama mengamati jagat raya, bedanya antara lo ma gw; lo astronot gw astronom..” Lebih lanjut lagi teman itu menjelaskan bahwa astronot secara langsung mengalami kondisi-kondisi nyata diluar angkasa tersebut (tanpa gravitasi, hampa udara, dll), sedang astronom hanya mengamati dari bumi tanpa merasakan kondisi luar angkasa. Ya, para eksekutor itu adalah astronot dan para pengamatnya astronom. Dan banyak sekali para pengamat di dunia ini dengan komentar dan kritik pedasnya. Bukankah banyak para aktivis yang vokal namun ketika ia menjabat manjadi eksekutor kevokalan nya lenyap bersama waktu? Mungkin analogi astronot-astronom ini berlaku juga pada fenomena itu.
Apa yang terjadi dalam satu tahun lalu? Dalam masa itu aku menjadi sangat paham akan pernyataan temanku tadi, karena saat itu peranku adalah sebagai astronot. Posisi itu buat aku tersadar bahwa kondisi di lapangan sangat amat mungkin berubah 180 derajat dari scenario yang dirancang. Bahwa memang tidak pernah terjadi kondisi ideal! Semua perhitungan dan perancangaan matang yang disiapkan dibumi nantinya pasti akan meleset juga ketika di luar angkasa sana. Karna memang ada hal-hal diluar kuasa kita. Pernah menjadi astronot membuatku lebih berhati-hati untuk mengkritisi para astronot lainnya… Namun tetap, yang tidak boleh dilupakan adalah usaha. Usaha untuk membuat perhitungan dan rancangan terbaik. Karna seperti apa yang bhumi katakan “yang manusia bisa perbuat adalah berusaha”
Apa yang memilukan dari cerita sepotong waktu ini? Hmm.. Kupikir yang paling memilukan adalah ketika apa yang ingin diubah tak kunjung berubah. Tentu saja bukan hal mudah jika yang ingin diubah adalah manusia. Semua usaha dan kerja keras tak sebanding dengan hasil yang ingin dicapai. Tapi akhirnya ketika ku coba merunut ulang semua yang telah kulakukan pilu itu hilang. Kecewa, marah, pilu tiba-tiba terbabat habis saat ku luruskan niat. Jika yang ku perbuat hanya karena alasan kemanusiaan, solidaritas atau apalah tentu kecewa yang dirasakan saat hasil tak seperti yang diinginkan.
Berkenalan dengan buku-buku bergizi menjadi momen yang paling kusuka dalam sepotong waktu itu. Terimakasih banyak teruntuk laskar pelangi yang berhasil membuatku membuka mata, hati dan pikiran. Lebih tepat jika kukatakan Laskar pelangi sebagai katalis pemecahan teka-teki dunia dalam petualanganku. Ceritanya yang sangat kental dengan sisi kemanusiaan berhasil membawaku mendapati sekian banyak pertanyaan. Dimulai dari pertanyaan mengenai kasus lintang; mengapa bisa tikus mati di lumbung padi?? Apa yang tadinya nampak terpisah kini terlihat sebagai suatu kesatuan. Yup.. everything is connected!!! Ya, novel ini mampu menggiringku bertualang. Dan aku sangat menikmati petualangan yang entah dimana ujungnya ini.. Terimakasih untuk buku-buku lainnya yang berjodoh dipertemukan dengan sang penulis dalam setaun terakhir. Hmm… Ternyata slogan “buku itu jendela dunia” sama sekali tidak salah.. Percayalah bahwa buku mampu membuat jiwa kaya.. (jadi hadiri pekan baca tulis ITB yak! Perpustakaan kaget PBT --25 februari-01 maret 2008 @ CC Barat ITB-- menyediakan buku-buku bergizi loh! Hehe..)
Selain berkenalan dengan buku, dalam sepotong waktu yang singkat itu aku pun dipertemukan dengan banyak teman-teman yang hebat. Kenapa hebat? Apa itu hebat? Biarlah aku pakai definisi hebat versi diriku sendiri --hebat; inspiring, & energizing. Bukan hanya mereka yang berkarya nyata untuk kebaikan saat ini tapi juga mereka yang sabar dan konsisten membangun sebuah bangunan besar nan mensejahterakan manusia di masa depan kelak.
Teori saja rasanya mudah diterima tapi untuk eksekusi rasanya sulit setengah mati. Hal ini juga pernah diungkapkan temanku bahwa orang Indonesia itu jago berteori tapi tidak dengan eksekusinya. Teorinya orang dewasa harus berani menanggung konsekuensi dari apa yang sudah jadi keputusannya. Hmm.. dalam sepotong waktu itu tak dinyana aku memutuskan menyukai seseorang (bukannya perasaan itu sulit dikendalikan? suka, kagum, senang, marah, kaget, dll), dan di masa itu juga aku harus menanggung konsekuensinya… Kini aku sepakat dengan pendapat teman tadi.. Arrrghhh… Tapi toh masa-masa itu telah berhasil kulalui.
Wednesday, 27 February 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)